Sukses

Hormon Seksual Jadi Alasan Wanita Lebih Takut Laba-Laba?

Sebanyak 90 perempuan turut ambil bagian dalam penelitian di UNSW mengenai peran hormon dalam fobia laba-laba.

Liputan6.com, Jakarta - Seberapa berani Anda mendekati laba-laba besar dan berbulu?

Kebanyakan orang mungkin memilih menjauh, tapi bagi 5 persen populasi yang memiliki ketakutan dengan laba-laba begitu besar bisa berdampak mengganggu kehidupan sehari-hari.

Mereka mengalami arachnophobes atau fobia laba-laba, dan mayoritasnya adalah perempuan. Sejumlah penelitian bahkan menunjukkan sebanyak 90 persen penderitanya adalah kaum hawa.

Para peneliti di University of New South Wales (UNSW) Australia berpendapat, bahwa hormon seks perempuan menjadi faktor penyebab ketidakseimbangan tersebut.

Mereka sedang menyelidiki apakah perempuan lebih mungkin membangun rasa takut pada laba-laba, dan kurang mau mengobati kegelisahan mereka ketika mengalami siklus menstruasi di mana tingkat hormon seksual berada di titik terendah.

Sebanyak 90 perempuan turut ambil bagian dalam penelitin di UNSW mengenai peran hormon dalam arachnophobes. Salah satunya adalah Briana Clifford yang selalu takut pada laba-laba.

"Saya mengira normal saja jika takut dengan laba-laba sepanjang waktu," kata Briana seperti dikutip dari ABC Australia, Selasa (10/4/2017).

"Ayah saya tidak takut laba-laba. Saya selalu pikir hal itu sangat aneh ketika dia menyingkirkan laba-laba untuk kami, menyentuh mereka dan hal semacam itu," ujar Briana.

"Saya jadi terdengar agak gila namun selalu melakukan hitung mundur seberapa lama sejak saya bertemu dengan laba-laba," kata Briana.

"Saya merasa semakin lama jarak insidennya, semakin besar kesempatanku melakukan kontak dengan laba-laba," tambahnya.

Dia kini mencoba menghentikan dirinya dari perilaku menghindar secara berlebihan. Meski begitu ketakutan dengan kontak berikutnya, sampai harus memeriksa di bawah tempat tidur dan di setiap sudut dan celah mobilnya sebelum mengendarainya.

"Saya tahu sebagian besar laba-laba tidak beracun. Saya tahu hal itu. Mereka mungkin tidak akan menyakiti saya. Tapi lebih pada antisipasi dan kecemasan laba-laba akan menyentuhku atau berjalan ke arahku," beber Briana.

Briana juga telah melakukan terapi laba-laba dengan psikolog klinis di UNSW. Terapi ini pertama-tama membicarakan apa sebenarnya yang ditakuti pasien akan terjadi jika mereka menemukan makhluk itu.

Dr Bronwyn Graham, seorang dosen senior di Jurusan Psikologi UNSW, mengatakan informasi tersebut sangat penting.

"Karena daripada mengekspos orang pada laba-laba, kami ingin mengekspos mereka pada kemungkinan yang mereka takuti,"tutur Graham.

Sesi yang diikuti Briana Clifford pertama-tama mengamati laba-laba jenis St Andrews Cross, kemudian mengambilnya menggunakan kartu pos dan cangkir, lalu menyentuhnya, dan akhirnya membiarkannya merangkak di tangan.

Dia berulangkali bersandar ke kursinya, melompat dan menjerit beberapa kali, serta gemetaran saat dia memegang laba-laba tersebut dalam cangkir.

"Pertama jangan lari, termasuk bersandar ke belakang. Dan kedua adalah jangan menggambarkan laba-laba sebagai makhluk menjijikkan," jelas Graham.

Para psikolog menyebutkan sesi seperti ini, yang bisa sampai pasien akhirnya menyentuh laba-laba berbulu, bisa butuh waktu lama bagi penyembuhan seseorang dari arachnofobia.

Sekitar 40 persen orang tidak berkurang rasa cemasnya setelah terapi eksposur atau paparan seperti itu. Namun para peneliti UNSW berharap bisa menunjukkan bahwa hasil yang lebih rendah pada perempuan, terkait dengan tingkat hormon seksual yang rendah.

Jika hal itu terbukti, pengobatan bisa dijadwalkan pada waktunya saat siklus ketika tingkat hormon seksel perempuan lebih tinggi.

Untuk perempuan dengan tingkat estradiol rendah dan telah melalui menopause, hormon dapat diberikan sebelum sesi terapi dimulai.

"Jika kami menunjukkan adanya fluktuasi dalam menanggapi pengobatan disebabkan kadar hormon, maka hal itu pasti berimplikasi besar pada bagaimana kita harus mengobati perempuan nantinya," kata Dr Bronwyn Graham.

Untuk Ellen Fawcett, peserta yang juga turut ambil bagian dalam penelitian di UNSW ini, sesi terapi pemaparan dua jam telah menunjukkan hasil yang luar biasa.

Mahasiswa jurusan pekerja sosial ini mengalami peningkatan dari tadinya tidak bisa melihat laba-laba sampai ke tahap membiarkan laba-laba merangkak di tangannya.

"Saya merasa seperti telah menaklukkan dunia," ujar Ellen bersemangat.

Saksikan juga video berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.