Sukses

Saat Berada di Indonesia, Presiden Prancis Singgung Brexit

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Prancis Francois Hollande dalam lawatannya ke Indonesia menyinggung mengenai keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Peristiwa ini dikenal luas dengan sebutan British Exit atau Brexit.

Menurut Pemimpin Partai Sosialis Prancis ini, keputusan tersebut merupakan hak penuh Inggris. Namun, dirinya secara pribadi masih menyayangkan sikap tersebut.

"Ada beberapa keputusan, Prancis menyayangkan keluarnya Inggris dari Uni Eropa," sebut Hollande di Hotel Haris Venture, Rabu 29 Maret 2017. 

Ia menyebut, sangat berdasar Prancis menyayangkan keputusan Inggris. Mereka melihat Negeri Ratu Elizabeth ingin sepenuhnya mandiri.

"(Inggris) seakan ingin memisahkan diri dan berdiri sendiri," tambah dia.

Kendati sudah memutuskan bercerai, Hollande menegaskan, ke depannya tali silatuhrahmi Eropa dan Inggris tak boleh putus.

Hal tersebut sangat penting. Pasalnya, meski nantinya tidak berada di dalam Uni Eropa, persaudaraan antar negara di Benua Biru sama sekali tak boleh putus.

"Kami berharap Prancis dan Uni Eropa daratan masih bisa berhubungan (baik) dengan Inggris," ucapnya.

Referendum keluarnya Inggris dari Uni Eropa dilangsungkan pada Juni 2016 lalu. Jumlah suara kubu pro Brexit sekitar lebih dari 51 persen, jauh melampaui mereka yang menginginkan Inggris tetap berada di UE, yakni 48 persen.

Terdapat tiga alasan utama mengapa warga Inggris menginginkan cerai dari organisasi tersebut.

Pertama, mereka yang menginginkan Brexit terjadi percaya bahwa jangkauan kekuasaan UE begitu besar hingga berdampak pada kedaulatan Inggris. Demikian, laporan Time pada 24 Juni 2016 lalu. 

Kedua, kelompok pro-Brexit merasa terganggu dengan aturan yang ditetapkan di Brussels, markas UE, di mana mereka meyakini hal itu mencegah bisnis beroperasi secara efisien. Isu migran adalah alasan ketiga sekaligus utama yang memicu perdebatan Brexit 'memanas'.

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu prinsip kunci dari UE adalah pergerakan bebas setiap warganya. Ini berarti warga Inggris dapat bekerja dan hidup di negara mana saja yang tergabung dalam UE, begitu juga sebaliknya.

Terdapat sekitar 3 juta warga UE lainnya yang hidup di Inggris, sementara terdapat 1,2 juta warga Inggris yang tersebar di sejumlah negara UE. Briton, sebutan untuk warga Inggris, menyalahkan para migran terkait dengan sejumlah isu seperti pengangguran, upah rendah, dan rusaknya sistem pendidikan serta kesehatan bahkan kemacetan lalu lintas.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini