Sukses

Usulkan Ide 'Tembok di Langit', Ilmuwan Harvard Tuai Kontroversi

Liputan6.com, Cambridge - Rencana kontroversial untuk membuat "tembok di langit" yang bertujuan memantulkan sinar Matahari, kemungkinan akan mendapat dukungan dari pemerintah Donald Trump.

Pasalnya, manipulasi ilmiah itu memungkinkan Trump terus menjalankan pembakaran bahan bakar fosil.

Sebuah tim ilmuwan Harvard University yang dipimpin oleh Profesor David Keith, berencana melakukan uji coba rencana kontroversial tersebut pada tahun depan.

Geoengineering tersebut dilakukan dengan menyemprotkan partikel halus air dan sejumlah material, seperti sulfur dioksida, dari balon udara.

Ilmuwan berpikir, melakukan tindakan itu dalam skala besar dapat mendinginkan suhu Bumi yang saat ini tengah mengalami pemanasan.

Penyemprotan partikel tersebut diyakini memiliki efek yang sama seperti puing-puing letusan gunung berapi yang menyelimuti atmosfer Bumi--memantulkan sinar Matahari sehingga memgurangi intensitas sinar yang masuk ke Bumi.

Namun, ide tersebut dikritik oleh Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati. Pada Desember tahun lalu, mereka menyetujui agar geoenineering--memanipulasi iklim Bumi untuk melawan efek pemanasan global--tak dilakukan terlebih dahulu.

Keputusan itu dibuat karena tindakan tersebut bisa saja memiliki konsekuensi yang tak diinginkan.

Setelah tim dari Harvard mengungkap rencananya tersebut, Direktur organisasi pengawas teknologi ETC Group Amerika Latin, Silvia Riberio, khawatir akan tindakan yang akan dilakukan Trump.

"Sangat jelas sebagian pemerintahan Trump tak segan membuka pintu terhadap skema nekat seperti milik David Keith, dan kemungkinan diizinkan untuk melakukan uji coba di alam terbuka," kata Riberio seperti dikutip dari Independent, Selasa (28/3/2017).

"Mengkhawatirkan, geoengineering mungkin muncul sebagai pendekatan yang disukai pemerintah untuk mengatasi pemanasan global."

"Dalam pandangan mereka, membangun tembok besar di langit yang terbuat dari sulfat menjadi alasan sempurna untuk mengizinkan ekstraksi bahan bakar fosil yang tak terkontrol."

"Kita perlu fokus untuk memotong emisi radikal, yang tak berbahaya dan adil," ujar Riberio.

Sementara itu dalam sebuah video promosi tentang percobaan terencana mereka, Daniel Schrag dari Harvard Univeristy mengungkapkan pandangannya soal geoengineering.

"Salah satu masalah iklim yang terkadang orang-orang tak menghargainya adalah skala waktu--fakta bahwa sebagian besar karbon yang ada di atmosfer akan tetap ada ribuan bahkan puluh ribu tahun dari sekarang," ujar Schrag.

Namun, beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbaru, akan membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun bahkan lebih dari satu abad.

"Banyak dari kita yang melihat sistem energi dan sistem iklim, memiliki pemikiran bahwa kita tak bisa mengubah sistem energi kita dalam satu waktu untuk mencegah konsekuensi terburuk dari perubahan iklim," kata Schrag.

"Ini alasan mengapa geoengineering, menurut saya, merupakan hal penting untuk dipertimbangkan dengan sangat hati-hati," imbuh dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini