Sukses

3 Pesan Terakhir yang Mengharukan di Tengah Perang Dunia II

Perang Dunia II adalah pertempuran paling mematikan dalam sejarah dunia. Beberapa korban sempat mengirimkan pesan terakhir.

Liputan6.com, Jakarta - Kadang-kadang kita mengetahui bahwa saat terakhir telah mendekat. Kita ingin memberikan pesan terakhir kepada orang-orang yang dicintai.

Isi tulisan itu bisa biasa saja atau hebat, atau sangat dipikirkan atau sembrono. Mungkin isinya bisa berbeda kalau kita tidak mengetahui tentang saat akhir itu.

Perang Dunia II adalah salah satu masa paling dipenuhi kematian dalam sejarah kita. Setidaknya ada 60 juta orang meninggal karenanya.

Beberapa di antara mereka meninggalkan kata-kata terakhirnya. Ada yang tidak sengaja menjadi kata-kata terakhir mereka.

Ada juga yang menatap maut di depan mata dan sadar bahwa ada beberapa hal yang tidak boleh disimpan saja. Disarikan dari Listverse.com pada Kamis (16/3/2017) berikut ini adalah sejumlah kata-kata terakhir mereka yang ada dalam kancah Perang Dunia II:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

1. Buku Harian Tentara Jepang yang Kalah

Ilustrasi pasukan Jepang menyerah saat Perang Dunia II. (Sumber historynet.com)

Dalam Perang Dunia II, Perwira Muda Toshihiro Oura dari Jepang ditempatkan di ujung barat daya New Georgia. Pada Juni 1943, pasukan Amerika Serikat (AS) mulai mendekat untuk merebut pulau dengan tujuan menduduki lapangan terbang di posisi Oura.

Selama itu, Oura tetap mengisi buku hariannya. Walaupun nasibnya tidak diketahui secara jelas, ia diduga tidak selamat. Isian terakhir buku hariannya bicara soal seseorang yang dikalahkan tapi tetap menjaga harapan.

Isian ke dua terakhir pada 22 Juli bertuliskan sebagian sebagai berikut:

"Coba pikirlah: saya belum mandi atau cuci muka atau sikat gigi selama sebulan. Salah satu gigi atas saya sudah rusak. Tubuh saya berbau seperti anjing liar. Hanya dengan berada di parit persembunyian lah saya tahu bahwa saya masih hidup. Drum di depan parit persembuyian penuh lubang. Serpihan ledakan mengenai punggung saya, dan saya kira saya sudah tamat."

"Secara misterius, ternyata tidak banyak yang mati. Kami harus menjalaninya dengan terus bersiaga. Kami memasrahkan semuanya kepada lawan. Oh, pasukan sepihak! Datanglah menolong kami! Tunjukkan kepada mereka kegagahan tentara Jepang."

Isiannya pada 23 Juli mengungkapkan kepahitannya tentang hasil peperangan dan pandangannya tentang kematiannya sendiri:

"Suasana pertempuran: tidak ada yang terluput dari pemusnahan. Tidak ada kerjasama dari angkatan laut. Jika saya harus membandingkan dengan kerjasama lengkap di pihak musuh, ini seperti perang seorang anak melawan seorang dewasa. Posisi-posisi artileri pegunungan kami lumat oleh tank-tank musuh."

"Kami dikepung, kata mereka, dan akan dilindas. Sebagai akibatnya, semua yang bisa kami lakukan adalah mempertahankan posisi kami sekarang. Apa sajakah yang dilakukan pasukan kami di Rabaul atau staf di markas Kekaisaran?"

"Kemana perginya angkatan udara dan kapal perang kami? Apakah kita akan kalah? Kenapa mereka tidak memulai operasi? Secara positif kami bertempur untuk menang, tapi kami tidak memiliki senjata."

"Kami bersiaga dengan senapan dan bayonet untuk menghadapi pesawat terbang, kapal perang, dan artileri menengah milik musuh. Disuruh menang adalah sesuatu di luar akal sehat."

"Jika kami, demikian juga musuh, harus bertempur hingga akhir dengan semua senjata yang tersedi, maka saya menyerah saja, entah menang, kalah, cedera, atau terbunuh."

"Tapi, dalam peperangan seperti ini, ketika kami seperti leher bayi di tangan seorang dewasa, bahkan kalau saya mati, maka itu adalah kematian penuh kebencian. Betapa disesali!"

"Pemikiran saya yang paling disesali adalah kegeraman saya terhadap pasukan di belakang dan kebencian yang memuncak kepada Staf Operasional. Di belakang, mereka kira ini semua untuk manfaat bagi negara. Secara singkat, dalam kondisi sekarang, ini adalah kekalahan. Namun demikian, seorang perwira Jepang selalu yakin, hingga akhirnya, bahwa akan ada pergerakan kekuatan udara dan laut kami."

Ia mengakhiri isian terakhuirnya dengan kalimat yang sendu, "Ada tanda-tanda saya terkena malaria lagi."

Hanya sedikit pasukan Jepang yang lolos atau ditawan saat itu, sehingga kemungkinannya kecil bahwa Oura selamat. Empat hari setelah isian terakhir buku hariannya, pasukan Jepang yang tersisa mundur dari daerah itu. Pada 5 Agustus, lapangan terbang di sana diduduki pasukan AS.

3 dari 4 halaman

2. Surat Cinta Terakhir untuk Ibu

Ilustrasi pasukan pendaratan D-Day di Normandy saat Perang Dunia II. (Sumber dday70.org)

Harry Schiraldi bertugas sebagai pasukan medis di Resimen Infantri 116, Divisi Infantri 29, pada saat pendaratan Normandia. Ia mengirim surat kepada ibunya sebelum pertempuran, dengan perincian tentang kegiatannya sesehari dan meyakinkan ibunya bahwa ia tidak mengabaikan imannya atau cintanya kepada perempuan mulia itu:

"Ibu tersayang,

Hanya beberapa baris saja malam ini untuk mengabarkan bahwa aku baik-baik saja dan berharap semua yang di rumah sehat selalu. Aku baru selesai main bisbol dan mandi dengan enak dan sekarang merasa nyaman.

Semoga semua berjalan baik di rumah, dan jangan lupa, jika kamu perlu uang, kamu bisa mencairkan simpanan peperanganku seberapapun yang kamu mau.

Siang ini aku pergi ke gereja dan menerima Komuni Suci lagi. Aku makin suci, ya kan?

Baiklah ibu, itu saja yang aku katakan malam ini, jadi aku akan tutup dengan cintaku kepada semua dan berharap akan segera mendengar lagi darimu. Jaga diri.

Salah satu putra tercintamu,

Harry"

Schiraldi terbunuh oleh tembakan pihak musuh di pagi hari saat pendaratan Normandy. Jasadnya dimakamkan di Calvary Cemetery di New York.

4 dari 4 halaman

3. Ucapa Terima Kasih dari Bocah Korban Nazi

Surat terakhir dari si kecil Zalman kepada bibinya. (Sumber yadvashem.org)

Zalman Levinson adalah seorang anak berusia 9 tahun yang tinggal bersama dengan ibunya, Frieda, dan ayahnya, Zelik, di Riga, Latvia.

Mereka melakukan komunikasi teratur dengan saudara perempuan Frieda yang bernama Agnes di Israel. Agnes kerap mengirimkan hadiah kepada Zalman, keponakannya.

Frieda mengirim kepada sepucuk kartu pos dari Riga pada April 1941. Setelah itu, surat-surat mendadak berhenti.

Ternyata nama-nama anggota keluarga itu termasuk dalam daftar tahanan ghetto di Riga, tempat di mana sekitar 30 ribu kaum Yahudi ditahan.

Di akhir 1941, pasukan Jerman menyatakan bahwa mereka akan memindahkan para penghuni ghetto dan menempatkan mereka "lebih jauh ke timur"

Antara 30 November 30 dan 9 Desemebr, lebih dari 26 ribu kaum Yahudi dibunuh di tenggara Riga, di sepanjang rel Riga-Dvinsk. Ada kemungkinan di sinilah keluarga Levinson, termasuk Zalman, dibunuh.

Surat terakhir yang diterima oleh Frieda dari keponakannya penuh gambar warna-warni tentang rumahnya dan surat singkat yang ditulisnya sendiri.

Surat kepada bibinya mencantumkan tandatangan namanya dan tulisan singkat, "Terima kasih untuk hadiahnya."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini