Sukses

Pengalaman Menarik Jualan Sate dan Rendang di Washington DC

Pemilik food truck Java Cove Indonesian Kitchen ini per harinya bisa meraup untung sekitar Rp 8-9 juta.

Liputan6.com, Washington DC - Aroma sate khas Indonesia yang menggoda selera tercium di kawasan pusat kota Washington, D.C Amerika Serikat mendekati jam makan siang. Harumnya aroma rempah nusantara ini datang dari Java Cove Indonesian Kitchen food truck.

Unit tersebut milik pasangan asal Indonesia, Andre dan Dewi Masfar, yang beroperasi di wilayah Washington, D.C sejak November 2015 lalu.

"Kalau kita bakar, berarti kita repot. Orang pasti datang. Kadang-kadang kalau ada satu pesan sate, ini bahaya. Kita bisa di-attack," kata Andre Masfar sambil bercanda saat ditemui oleh VOA News belum lama ini yang Liputan6.com kutip Rabu (15/3/2017).

Semua ini berawal dari keinginan Andre dan Dewi untuk memperkenalkan kuliner Indonesia kepada warga lokal AS. Mereka kemudian memutuskan untuk terjun ke bisnis food truck yang terus marak di Washington, D.C.

Mereka lantas pergi ke pelelangan untuk membeli truk bekas dan mengurus perizinannya, yang mencakup daerah Maryland dan Washington, D.C.

Setelah memperoleh izin, Andre harus memenuhi berbagai persyaratan lainnya, termasuk sertifikat untuk memasak, menyerahkan desain truk yang akan digunakan, dan juga harus lulus inspeksi dari dinas kesehatan AS.

"Proses perizinannya sebenarnya susah-susah gampang. Kita mesti sabar saja,” jelas pria asal Bukit Tinggi, Padang itu.

Secara keseluruhan pengurusan perizinan oleh Andre telah memakan waktu sekitar enam bulan. Dengan modal untuk merintis usaha food truck berkisar Rp 500 juta.

Lalu mereka harus memperhatikan banyaknya jumlah food truck yang beroperasi di wilayah Washington, D.C, memilih lokasi dan tempat parkir sesuai aturan. Semua dilakukan melalui undian, sehingga tiap food truck bisa mendapatkan tempat yang berbeda setiap bulannya.

Jika tidak mengikuti undian, para pemilik food truck juga bisa parkir dan berjualan di beberapa lokasi tertentu. Para pelanggan kemudian bisa mengikuti pergerakan food truck favorit mereka melalui media sosial seperti Twitter dan Facebook.

Elemen Indonesia dalam desain truk Java Cove Indonesian Kitchen ini juga sangat kental dengan Tanah Air. Truk berwarna coklat ini bergambarkan wayang dan peta Indonesia, serta dihiasi gambar batik di bagian bawahnya.

Menu makanan yang tersedia juga sangat beragam dan kaya akan rempah-rempah tradisional Indonesia. Mulai dari rendang khas padang, sate ayam, sate kambing, kalio ayam, dan menu tempe serta sayuran.

Andre menjelaskan, makanan yang dijual tidak boleh sembarangan dan harus didaftarkan.

"Sebenarnya banyak, ada mie goreng, kita sudah bikin list ada empanada, kita bilang(nya) pastel. Terakhir ini ada ide, ada teman mau jual siomay. Kita enggak bisa jual siomay, kita masukin izinnya itu lama, seminggu buat mendapatkannya (agar) kita bisa diizinkan jual siomay. Akhirnya udahlah forget it, tapi sekarang akhirnya dapat juga, gado-gado kita masukin."

"Pokoknya semua makanan itu musti register dulu, enggak bisa sembarangan kita bikin gado-gado yang di list-nya enggak ada," papar pria yang berdomisili di AS sejak tahun 1989 ini.

Java Cove Indonesian Kitchen food truck ini beroperasi setiap hari Senin hingga Jumat. Setiap harinya Andre dan Dewi menyiapkan sekitar 100 tusuk sate dan masing-masing 20 porsi untuk setiap menunya, yang dipadukan dengan nasi putih atau nasi goreng, bakwan, lumpia, dan sayuran.

Tidak hanya sate yang selalu menggoyang lidah warga AS, namun rendang daging Indonesia yang sudah banyak dikenal oleh warga internasional juga menjadi salah satu menu favorit.

"(Pelanggan) pernah makan ini di Indonesia. Beef rendang di Indonesia juga rupanya dicari. Sampai (Amerika) juga (dia) enggak tanya-tanya lagi. Langsung dia pesan saja beef rendang," kata Andre.

Warga AS Gemar Makanan Pedas

Siapa yang menyangka ternyata warga AS juga menggemari makanan pedas. Tidak jarang mereka meminta ekstra sambal kepada Andre.

"Kadang-kadang itu yang lucu tuh. (Pelanggan) pikir sambalnya kita kurang pedas. Kadang-kadang dia minta tambah. Kadang-kadang kita tambahkan, lantas spring roll-nya dia makan di depan kita."

"Ternyata pedasnya minta ampun. Kita punya rawit kan itu yang paling pedas. Akhirnya (pelanggan) bilang, ‘Waduh ini benar-benar, kamu mesti bilangin saya,’ saya udah bilang, tapi kalau situ tetap makan ya what can I do?", jawab Andre sambil tertawa.

Makanan yang dijual oleh Java Cove juga harus dimasak langsung di truk atau dapur umum yang sudah ditentukan. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi jika terjadi keracunan.

"Itu cuman dua syaratnya, masak di kitchen apa masak di truk? Itu juga semuanya mesti lulus (departemen kesehatan)," ucap Andre.

"Jadi kebersihan ini terjaga, kalau misalnya ada food poison satu gitu ya dari food. Nah, food itu yang (diselidiki). Kayak gado-gado. Apa salahnya? Apa di kacangnya? Apa di sayurnya? Sayurnya busuk apa gimana?” tambah Andre.

Petugas dinas kesehatan pun tidak segan-segan datang untuk melakukan inspeksi dadakan.

"Kadang-kadang ada. Yang sering itu kalau kita ikut festival. Sudah pasti di periksa. Kalau misalnya di (lokasi ini) kadang-kadang dia datang. Coba lihat license-nya? Dia naik ke sini, dia periksa temperaturnya, (hanya) itu saja," jelas Andre.

Penghasilan yang didapat oleh Java Cove Indonesian Kitchen food truck per harinya bisa mencapai sekitar Rp 8-9 juta.

Menurut Andre, usaha food truck ini sangat menarik perhatian orang.

"Food truck itu attrack people. Kita kerjanya bersih. Di tempatnya juga enggak mengotori kan? Orang benar-benar tertarik sama itu."

"Kalau kita punya restoran, (biayanya) gede. Kita mesti tunggu orang datang. Ini enggak. Di mana ramai, di situ kita datang. Kalau misalnya sepi, kita pindah ke tempat yang ramai. Itu kan gampang benar. Jadinya pasti income-nya jalan terus. Mudah-mudahan ya, insya Allah," kata WNI itu menutup wawancara dengan VOA News.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.