Sukses

3 Situasi Politik Ini Diprediksi Memicu Perang Dunia III

Peta politik setelah Perang Dingin berubah dan hal tersebut memicu konflik global selanjutnya, Perang Dunia III.

Liputan6.com, London - Adanya prospek konflik global atau bisa disebut Perang Dunia III baru-baru ini muncul ke permukaan. Peta politik dunia berubah sejak Perang Dunia II berakhir. Itu terjadi karena tak ada kekuatan dominan di antara negara-negara besar.

Eropa sehabis perang usai memiliki proyek bahwa dunia akan aman, berkeadilan sosial, dan manusia hidup harmoni satu sama lain. Namun, makin ke sini impian atas proyek itu kandas. Meningkatnya nasionalisme justru memperburuk situasi di Benua Biru yang penuh sejarah konflik berdarah.

Pada Abad ke-20, kedua perang dunia itu tak dapat diperkirakan. Seperti dalam buku yang ditulis Christopher Clark The Sleepwalkers: How Europe Went to War in 1914. Buku yang dirilis saat 100 tahun Perang Dunia I itu memuat Eropa tak mengira akan terlibat perang.

Eroba sebelum Perang Dunia I diselimuti ketenangan. Abad ke-19 yang panjang penuh dengan perdamaian dan relatif stabil.

Kekuatan-kekuatan besar di Eropa telah terlibat dalam diplomasi dan perdagangan sebelum serangan pembantaian.

Hal itu dikemukakan oleh opini dari penulis Youssef El-Gingihy yang Liputan6.com kutip dari The Independent, Senin (13/3/2017).

"Selama tahun 1930-an, negara-negara besar enggan terlibat perang. Seperti AS yang enggan terlibat pakta Nazi-Soviet. Namun belakangan hampir semua negara terlibat di Perang Dunia II," tulis El-Gingihy

Setelah Perang Dunia II berakhir. Tak lama kemudian konflik pecah antara blok Barat dan Timur menciptakan Perang Dingin.

"Lewat Perang Dinginlah, konsep Perang Dunia III ini terbentuk," lanjut El-Gingihy yang juga seorang dokter umum di London yang merawat pasien-pasien dari kalangan miskin.

El-Gingihy adalah praktisi medis yang kerap menuliskan buah pikirnya di berbagai media Inggris. Ia juga mengkritik skema kesehatan Inggris serta kebijakan Brexit.

Dokter 35 tahun ini mengatakan, potensi konflik di masa depan berawal dari masing-masing negara besar yang ingin mengambil peran untuk terjun ke konflik.

"Inggris misalnya, diam-diam negara ini sudah mempersiapkan persenjataan nuklir," kata El-Gingihy

Menurut El-Gingihy, pada Abad ke-21, ada tiga peta politik yang muncul sebagai lokus untuk perang di masa depan. Yang pertama adalah Eropa-Rusia dengan perang dingin baru dipicu oleh konflik Ukraina. Yang kedua adalah kawah Timur Tengah berpusat di sekitar ISIS dan perang Suriah. Yang ketiga adalah Asia-Pasifik dimana AS akan berhadapan dengan China.

Berikut penjabaran El-Gingihy terkait 3 peta politik yang berubah dan potensi menjadi konflik global atau Perang Dunia III.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

1. Rusia Vs NATO

Pada 2014, majalah Time pernah mengulas Perang Dingin jilid kedua akan dimulai pada 2014.

Negara-negara Barat menjuluki tindakan Vladimir Putin ke Georgia dan Ukraina sebagai ekspansi agresif.

Namun demikian, sejumlah analisis mengatakan krisis Ukrania diawali dengan ekspansi NATO selama dua dekade ke negara-negara perbatasan Rusia. Langkah itu dinilai bertentangan dengan janji-janji yang dibuat untuk menghormati batas-batas tersebut pada akhir Perang Dingin.

Lembaga Think Tank, European Leadership Network (ELN) merilis laporan tahun 2015 yang mengatakan 'permainan' perang Rusia di Ukraina melibatkan 8.000 tentara. Sementara penjagaan NATO di kawasan itu mengerahkan 15.000 pasukan.

Laporan itu menyebut, "Keduanya menunjukkan bahwa masing-masing pihak melakukan pelatihan. Rusia sedang mempersiapkan untuk konflik dengan NATO, dan NATO sedang mempersiapkan untuk kemungkinan konfrontasi dengan Rusia."

Baru-baru ini Amerika Serikat juga mengerahkan pasukannya ke Polandia. Itu adalah pengerahan pasukan terbesar AS di Eropa sejak Perang Dingin berakhir.

3 dari 4 halaman

2. Geopolitik Timur Tengah

Situasi politik berubah semenjak serangan mematikan 9/11. Namun demikian, saat itu teroris di Afghanistan dan sekitarnya hanya berjumlah ratusan orang.

16 tahun setelahnya, alih-alih bisa melumpuhkan mereka, perang terhadap teror yang menghabiskan US$ 4.000 miliar dan menewaskan lebih dari 1,3 juta manusia, anggota teroris meningkat menjadi 100 ribu orang.

Bagaimana bisa terjadi? Menurut pensiunan jenderal AS, Wesley Clark mengungkapkan setelah 9/11, Pentagon berencana untuk menyerang 7 negara. Mereka adalah Irak, Suriah, Libya, Afghanistan, Pakistan, Somalia dan Yaman.

Serangan itu didasari oleh terorisme, tapi lebih ke niat untuk menjamin kekuatan ekonomi dan militer AS di kawasan.

Jurnalis Naomi Klein melaporkan Perang Irak diciptakan AS untuk menambah pundi aset militer AS. Ia menulis untuk New York Times, rekonstruksi Irak senilai dengan pemasukan ekonomi AS senilai US$100 miliar.

Dalam proses itu, alih-alih menjadikan warga Irak sejahtera setelah Saddam Hussein digulingkan, namun negara itu justru menjadi sarang bagi kelompok teroris ISIS.

Konflik Suni-Syiah juga dimanfaatkan dengan baik oleh AS dan sekutunya.

Terlihat dalam konflik di Suriah dan Yaman, di mana AS mendukung pemberontak yang melawan pemerintah Presiden Bashar al-Assad yang Syiah. Di lain sisi, Negeri Paman Sam menopang Arab Saudi membantu pemerintah Yaman melawan pemberontak Houthi.

4 dari 4 halaman

3. Asia Pasifik

Menurut El-Gingihy apa yang ditulis PW Singer dan August Cole dalam bukunya Ghost Fleet: A Novel of the Next World War kemungkinan bisa terjadi.

Kedua penulis itu merupakan ahli keamanan nasional, meramalkan jika perang global terjadi, kemungkinan AS, China dan Rusia akan saling menyerang lewat perang siber, robot, dan drone.

Selama masa pemerintahan Obama, Pentagon mengerahkan 60 persen kekuatan angkatan lautnya ke Asia. AS juga memperkuat kerja sama dengan Jepang dan negara-negara Asia Timur lainnya untuk mencegah dominasi China.

Secara ekonomi, AS juga menggagas Trans-Pacific Partnership (TPP) sebuah perjanjian perdagangan yang mengecualikan China.

Namun, pergantian rezim dari Obama ke Donald Trump, membuat AS menarik diri dari TPP.

Sementara itu tensi China dan Jepang makin meninggi. Kapal militernya mulai mengarah ke Laut Jepang. Tiongkok juga membuat berang AS di Laut China Selatan.

Adapun Trump, di bawah nasihat Steve Bannon penasihat sekaligus seseorang yang memiliki pandangan garis kanan, mengatakan "Dalam 10 tahun, AS akan berperang dengan Tiongkok di Laut China Selatan."

Bannon melihat China (dan Islam) sebagai ancaman.

Diprediksi China akan mengambil alih posisi AS dalam hal ekonomi, namun dominasi militer AS tetap tak tertandingi. Ini adalah perbedaan berbahaya karena berarti bahwa AS akan menggunakan kekuatan militer ini untuk menjamin hak prerogatif ekonomi.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini