Sukses

Mantan Dubes AS untuk Rusia: Donald Trump Meniru Vladimir Putin

McFaul mencontohkan sejumlah perilaku Trump yang menurutnya serupa dengan tindakan Putin.

Liputan6.com, Washington, DC - Mantan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Rusia, Michael McFaul menuding, Donald Trump meniru gaya "autokrasi" Vladimir Putin dalam menjalankan roda pemerintahannya. McFaul merupakan Dubes AS untuk Rusia tahun 2012-2014, era kepresidenan Barack Obama.

McFaul juga mengatakan bahwa "pernyataan ramah" Trump yang ditujukan ke Putin mengkhawatirkan.

"Saya tahu pemimpin seperti apa Putin dan dia seorang penguasa autokrasi, jadi saya tidak mau melihat replikanya di sini," ujar McFaul kepada Program BBC Radio 4'S Today seperti dikutip Independent, Jumat, (17/2/2017).

"Saya tidak menolak bergaul dengan Rusia, saya bekerja keras untuk melakukannya ketika saya berada di pemerintahan Obama selama lima tahun, namun sekadar bergaul bukan tujuan dari kebijakan luar negeri AS," tambahnya.

McFaul menjabat sebagai dubes kala Washington menjatuhkan sanksi atas Kremlin. Tahun lalu ia dilarang masuk ke Rusia.

Diplomat AS itu pun membandingkan perilaku Trump dan Putin selama masa awal kepemimpinan presiden Rusia itu tepatnya pada tahun 2000-an.

"Ketika Trump memanggil press sebagai musuh, misalnya, itu membawa ingatan saya ke Vladimir Putin pada tahun 2000 ketika ia mendeklarasikan bahwa press adalah musuh," terang McFaul.

"Ketika Presiden Trump mempertanyakan aturan hukum kita, hakim kita, itu mengingatkan saya pada tahun-tahun pertama Putin memerintah, ketika waktu demi waktu peradilan lebih tunduk kepada presiden," imbuhnya.

Namun McFaul yang saat ini menjadi profesor di Stanford University mengungkapkan keyakinannya bahwa lembaga-lembaga demokrasi di AS jauh lebih kuat dibanding yang ada di Rusia ketika Putin mulai berkuasa. Ia merujuk pada suspensi hakim yang mementahkan kebijakan anti-imigran Trump terhadap warga dari tujuh negara mayoritas muslim.

McFaul juga menjadikan pengunduran diri penasihat keamanan nasional Trump, Michael Flynn sebagai contoh bahwa pengadilan di AS masih independen dan kebebasan pers masih terjaga. Flynn mundur setelah dituding menjalin komunikasi dengan Rusia pada masa transisi.

Kendati demikian, ia memperingatkan bahwa rakyat AS harus "waspada" mengingat kebijakan Trump atas Rusia belum jelas di tengah ketegangan kedua negara menyangkut sejumlah isu seperti, perang Suriah, Ukraina, dan NATO.

Trump sendiri telah melontarkan berbagai pujian terhadap Rusia dan bersumpah untuk memperbaiki hubungan kedua negara.

Namun belakangan Gedung Putih mengeluarkan pernyataan yang berbeda dan mengatakan presiden "luar biasa keras terhadap Rusia" dan akan mempertahankan sanksi serta menuntut Negeri Beruang Merah itu untuk mengurangi intensitas kekerasan di Ukraina dan menarik diri dari Krimea.

Permintaan tersebut langsung ditanggapi Rusia. Moskow menegaskan tidak akan mengembalikan Krimea kepada Ukraina dan menyebut bahwa semenanjung yang dianeksasi pada tahun 2014 tersebut sebagai "wilayah mereka".

Sergei Shoigu, Menteri Pertahanan Rusia, merespons pernyataan Menhan AS, James Mattis yang mengatakan, Washington harus bernegosiasi dengan posisi yang kuat dengan Rusia.

"Kami siap untuk kembali bekerja sama dengan Pentagon. Namun upaya untuk membangun dialog dari posisi yang kuat terkait Rusia adalah sia-sia," tegas Shoigu.

Saat ini sejumlah pejabat di pemerintahan Trump akan bertemu dengan mitra mereka di pemerintahan Putin di mana Jenderal Joe Dunford, kepala staf Angkatan Bersenjata AS dan Jenderal Valery Gerasimov, kepala staf Angkatan Bersenjata Rusia dijadwalkan akan bertemu di Azerbaijan, sementara itu Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov dan Menlu AS, Rex Tillerson akan bertatap muka di kota Bonn, Jerman.

Publik masih menanti bagaimana garis kebijakan luar negeri yang akan ditetapkan oleh Menlu Tillerson mengingat yang bersangkutan minim pengalaman dalam dunia diplomasi. Namun fakta bahwa ia "dekat" dengan Rusia adalah kisah lain yang menarik.

Tillerson merupakan mantan CEO Exxon Mobil yang memiliki kedekatan dengan banyak kepala negara, termasuk Putin. Keduanya pertama kali bertemu pada awal dekade 1990an, ketika Tillerson kala itu mengawasi proyek Exxon di pulau Sakhalin.

Keduanya menjalin hubungan erat ketika Putin mengambil alih kekuasaan dari Boris Yeltsin pada tahun 1999. "Pertemanan" itu lantas berbuah perjanjian historis tahun 2011 ketika Exxon mendapat hak untuk menggarap cadangan gas di Lingkar Kutub dan Siberia.

Perjanjian yang awalnya bernilai 3,2 milyar Dollar AS itu saat ini diperkirakan mampu menghasilkan keuntungan senilai 500 milyar Dollar AS. Namun aktivitas Exxon dibatasi berkat sanksi ekonomi yang dijatuhkan AS dan Eropa terhadap Rusia. Tahun 2013, Putin menganugerahi Tillerson tanda bintang jasa.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.