Sukses

Kecam Donald Trump, Ibu Ini Tak Sudi Kematian Putrinya Diperalat

Donald Trump menyebut tewasnya Mia Ayliffe-Chung di sebuah hostel di Queensland pada Agustus 2016 adalah serangan teror.

Liputan6.com, London - Pemerintahan Donald Trump merilis daftar 78 serangan teror yang terjadi dalam kurun waktu dua tahun. Mereka mengklaim daftar serangan ini tak mendapat perhatian cukup dari media.

Menurut Gedung Putih, sebanyak 754 orang tewas dalam serangan tersebut dan 1.744 lainnya luka-luka. Ada dalam daftar tersebut adalah penyerangan di gedung konser Bataclan di Paris, Prancis, dan pembunuhan Mia Ayliffe-Chung di sebuah hostel di Queensland, Australia, pada Agustus 2016.

Kala itu, gadis 20 tahun tersebut sedang berwisata ala backpacker.

Mia yang berasal dari Wirksworth, Inggris, meninggal akibat beberapa luka tusukan di Home Hill, dekat Townsville. Polisi Australia mengesampingkan kemungkinan serangan teror sebagai penyebab kematiannya.

Seperti dikutip dari BBC, Rabu (8/2/2017), ibu mendiang mengkritik Gedung Putih yang melabeli kematian putrinya sebagai "serangan teror".

Rosie Ayliffe, sang ibu, tak sudi kematian Mia digunakan untuk menghukum mereka yang tak bersalah.

Sebab, rilis daftar oleh pihak Trump terjadi di tengah upaya hukum oleh pemerintahannya mengembalikan larangan bagi warga dari tujuh negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Presiden Donald Trump ketika menyambangi markas besar CIA (Associated Press)

"Memperlakukan para imigran sebagai komoditas yang bisa disingkirkan dan diganti, serta mengabaikan keamanan mereka yang bisa memicu kematian di tempat yang kita sebut sebagai 'dunia yang beradab'," kata Ayliffe dalam surat terbukanya pada Donald Trump.

Sebelumnya, warga Prancis Smail Ayad (29) ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Mia dan seorang korban lain Thomas Jackson (30) dari Cheshire--yang juga ditikam dan dinyatakan meninggal dunia di rumah sakit.

"Kemungkinan tewasnya Mia dan Tom akibat serangan teror yang mengatasnamakan Islam dikesampingkan, bahkan sejak tahap awal investigasi polisi," kata dia.

"Fitnah terhadap suatu negara dan rakyatnya atas nama keyakinan adalah sebuah pengingat mengerikan, soal apa yang akan terjadi jika membiarkan diri kita dipimpin sosok yang bebal menuju kegelapan dan kebencian."

Sebelumnya, Donald Trump berkukuh, "ancaman dari teroris Islam radikal adalah nyata. Untuk itu ia bersumpah akan mengembalikan kembali perintah eksekutifnya yang digagalkan sementara oleh seorang hakim.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini