Sukses

Liput Demo Anti-Trump, 6 Wartawan Didakwa Lakukan Kejahatan Besar

Committee to Protect Journalists (CPJ) mengatakan, dakwaan terhadap wartawan yang sedang meliput aksi protes harusnya dibatalkan.

Liputan6.com, Washington, DC - Enam awak media ditangkap setelah meliput unjuk rasa anti-Donald Trump pada Jumat 20 Januari 2017 lalu. Keenamnya lalu dituduh melakukan kejahatan besar atau felony charge.

Itu berarti, keenam jurnalis tersebut dibayangi ancaman hukuman 10 tahun penjara dan denda US$ 25.000 jika terbukti bersalah.

Dilansir dari The Guardian Kamis (26/1/2017), mereka adalah produser film dokumenter, fotografer, live-streamer, dan reporter lepas. Keenam orang itu didakwa hukuman paling berat undang-undang anti-unjuk rasa yang dimiliki Washington DC.

Keenam wartawan itu didakwa di pengadilan tinggi pada hari Sabtu namun dibebaskan untuk menunggu sidang selanjutnya pada bulan Februari dan Maret. Demikian menurut dokumen pengadilan.

Committee to Protect Journalists (CPJ) mengatakan, tuduhan terhadap wartawan yang sedang meliput aksi protes anti-Trump harusnya dibatalkan.

"Dakwaan ini jelas tidak pantas, dan kami khawatir akan mengirim pesan mengerikan untuk jurnalis yang meliput protes di masa depan," kata Carlos Lauria, koordinator senior program Americas di CPJ.

"Kami meminta pihak berwenang di Washington untuk segera mencabut tuduhan tersebut."

Jack Keller, seorang produser seri dokumenter Story of America, mengatakan ia ditahan selama sekitar 36 jam oleh polisi setelah meliput unjuk rasa Donald Trump di Jalan L dan 12 Washington DC pada Jumat pagi di mana unjuk rasa berujung ricuh berlangsung.

Padahal, yang bersangkutan telah mengatakan, dirinya adalah seorang wartawan kepada aparat yang menangkapnya.

"Cara kami diperlakukan oleh aparat sangat menggelikan," kata Keller, yang ponselnya juga ditahan pihak berwenang.

Editor Keller, Annabel Park, mengatakan: "Ini adalah situasi yang menjengkelkan dan membuat frustrasi. Mereka berada di sana untuk mengamati dan mendokumentasikan sebuah sejarah."

Matt Hopard, wartawan independen yang melakukan live streaming aksi protes pada Jumat, ditangkap di tempat yang sama dengan Keller, Engel, dan Rubinstein, menurut catatan polisi metropolitan. Dia membantah tuduhan yang diarahkan terhadap dirinya.

Wartawan yang ditahan lainnya yang meliput di Jalan 12th dan L di Washington, Shay Horse. Dia adalah fotografer dan aktivis independen.

Bersama Horse, ada Aaron Cantu, jurnalis lepas yang kerap menulis untuk beberapa media terkenal. Keduanya juga menolak dakwaan tersebut.

Total, ada 200 orang ditahan dalam unjuk rasa penolakan Trump pada Jumat lalu, setelah beberapa properti dirusak.

Polisi DC mengatakan, ada enam petugas terluka.

Tim advokasi The National Lawyers’ Guild menuding polisi metro DC berlaku diskriminatif dengan menargetkan orang-orang yang di lokasi unjuk rasa. Mereka menuduh polisi berbuat ilegal dengan menggunakan tembakan air mata dan senjata lainnya.

"Jelas aksi polisi itu melanggar kebebasan berbicara yang diatur dalam Amandemen Pertama," kata Maggie Ellinger-Locke, ketua ranting DC The National Lawyers’ Guild.

Kantor jaksa AS untuk Washington DC, yang menuntut mereka, menolak untuk mengomentari kasus ini  dan mengatakan akan terus meninjau bukti dari polisi.

"Berdasarkan fakta-fakta dan keadaan, kami memutuskan bahwa kemungkinan penyebab pengajuan tuduhan kejahatan besar," kata William Miller, juru bicara kantor kejaksaan dalam sebuah pernyataan.

"Seperti dalam semua kasus kami, kami selalu bersedia untuk mempertimbangkan informasi tambahan dari hasil investigasi kami."

Sidang pendahuluan untuk Cantu, Hopard, Horse, dan Keller ditetapkan pada pertengahan Maret. Sementara untuk Engel dan Rubinstein dijadwalkan pada pertengahan Februari.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini