Sukses

Skandal Suap, Rolls-Royce Minta Maaf dan Bayar Rp 11 Triliun

Sejarah panjang Rolls-Royce yang gilang gemilang itu dinodai kasus suap di tujuh negara, termasuk Indonesia.

Liputan6.com, London - Merek mentereng Rolls-Royce tak hanya menempel pada mobil kelas atas yang diproduksinya. Bahkan sejak era Perang Dunia I, perusahaan asal Inggris itu juga memproduksi mesin untuk pesawat terbang.

Namun, sejarah panjang yang gilang gemilang itu dinodai kasus suap. Rolls-Royce diduga memberikan uang pelicin sejak 1989 hingga 2013. 

Salah satu akibatnya, Rolls-Royce dipaksa minta maaf dan membayar denda 671 juta pound sterling atau US$ 830 juta (setara lebih dari Rp 11 triliun) untuk menyelesaikan kasus suap dan korupsi di Inggris, Amerika Serikat, dan Brasil.

Rinciannya, 497 juta pound sterling dibayarkan ke pihak Inggris, kemudian 174 juta pound sterling lainnya pada pihak berwenang di AS dan Brasil.

"Kami meminta maaf tanpa syarat atas pelanggaran yang telah diungkap," demikian disampaikan pihak perusahaan, seperti dikutip dari Russia Today, Kamis (19/1/2017).

Untuk kasus tiga negara tersebut, investigasi ke perusahaan raksasa yang masuk daftar Financial Times Stock Exchange (FTSE) 100 itu sejatinya telah diawali pada 2012 atau lima tahun lalu. Namun, rinciannya tetap ditutupi hingga saat ini.

Rolls-Royce diduga menyewa perantara untuk membayar suap untuk memenangkan kontrak yang lebih menguntungkan di tingkat internasional.

Seperti dikutip dari Business Insider, lembaga yang menangani kasus korupsi di Inggris atau Serious Fraud Office (SFO) memperkirakan, skandal suap itu diduga membantu Rolls-Royce memenangkan sejumlah kontrak yang menghasilkan laba lebih dari 250 juta pound sterling.

Ilustrasi pembuatan mesin Rolls-Royce  (Wikipedia)

SFO menyimpulkan, di Indonesia, staf senior Rolls-Royce setuju membayar US$ 2,25 juta dan memberikan sebuah mobil Rolls-Royce Silver Spirit kepada perantara, agar memberikan keuntungan pada pihak Rolls-Royce terkait penggunaan mesin pesawat Trent.

Secara terpisah, perusahaan Inggris itu menyuap pihak saingan agar mengajukan tawaran yang tidak kompetitif -- demi mengamankan kontrak.

Di Tiongkok, Rolls-Royce membayar US$ 5 juta kepada maskapai penerbangan milik negara China atau CES, ketika sedang menegosiasikan penjualan mesin T700.

Perusahaan Inggris itu juga setuju menyediakan kursus MBA selama dua pekan di Columbia University -- lengkap dengan akomodasi bintang empat dan kegiatan ekstrakulikuler mewah untuk pihak China.

Di Rusia, Rolls-Royce memenangkan kontrak untuk menyediakan peralatan bagi perusahaan gas negara Gazprom -- dengan cara tak etis, yakni memberikan suap pada pejabat perusahaan tersebut.

Perbuatan tercela serupa juga terungkap di Thailand, Nigeria, dan India.

Tak semua senang dengan denda besar yang dijatuhkan pada pihak Rolls-Royce. Brian Leveson, ketua Bench Division of the High Court mengatakan, jika Rolls-Royce tak dituntut maka akan sulit untuk mengejar perusahaan lain -- yang melakukan perbuatan serupa -- di masa depan.

"Reaksi saya ketika mempertimbangkan perkara ini adalah, jika Rolls-Royce tak dituntut dalam konteks kriminalitas yang dilakukan selama beberapa dekade, melibatkan sejumlah negara, melakukan pembayaran suap secara meluas, demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar, akan sulit untuk memperkarakan perusahaan lainnya," kata dia.

Namun, pada akhirnya, hakim tak memperkarakan Rolls-Royce secara kriminal, dengan pertimbangan perusahaan tersebut mempekerjakan 50 ribu orang.

Alasan lain, SFO yang didanai pembayar pajak di Inggris telah mengeluarkan 13 juta pound sterling dalam kasus Rolls-Royce saja-- dalam penyelidikan terbesar yang dilakukan dalam sejarah lembaga antikorupsi itu, yang melibatkan telaah terhadap 30 juta dokumen.

Meski demikian, penyelesaian kasus tersebut tak menghambat pemidanaan terhadap individu yang terkait, termasuk 38 staf Rolls-Royce yang terungkap dalam penyelidikan.

Sementara Rolls-Royce mengungkapkan, pihaknya telah melakukan perubahan manajemen dan menerapkan sistem baru.

"Praktik-praktik masa lalu yang telah ditemukan tidak mencerminkan perilaku bisnis Rolls-Royce saat ini. Sekarang kami melakukan cara yang berbeda secara fundamental," kata CEO Rolls-Royce, Warren East.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pemidanaan di Indonesia dan Thailand

Pada Kamis 19 Januari 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan 11 pesawat Airbus A330-300 pada 2012 silam oleh PT Garuda.

Penandatanganan kontrak pembelian 11 pesawat jenis A330-300 dilakukan langsung oleh Emirsyah Satar dan Executive Vice President Programes Airbus, Tom Wiliam di Istana Negara RI dan disaksikan langsung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menjadi presiden dan Perdana Menteri Inggris David Cameron.

Airbus A330-300 bisa ditenagai dengan tiga pilihan mesin, yaitu Rolls Royce Trent 700, Pratt & Whitney PW 400, atau GE CF6-80E. PT Garuda memilih pesawat A330-300 yang dibeli ini ditenagai 2 mesin Rolls Royce Trent 700.

Namun, mesin Rolls Royce Trent 700 yang dipakai untuk menerbangkan Airbus A330-300 ini ternyata masuk ke dalam 'daftar hitam' lembaga regulator penerbangan sipil di Amerika Serikat, Federal Aviation Administration Safety Alert.

Emirsyah Satar bersama PM Inggris, David Cameron berdiri di dekat Garuda Airbus A330-200 di Bandara Halim Perdana Kusuma di Jakarta pada tanggal 11 April 2012. (Beawiharta/POOL/AFP)

Tak hanya di Indonesia, seperti dikutip dari situs IOL, Komisi Antikorupsi Thailand atau NACC juga memulai penyelidikan terkait dugaan suap dalam pengadaan mesin pesawat untuk Thai Airways.

Rolls-Royce pada 1991 sepakat membayar US$18,8 juta untuk "perantara lokal", termasuk pejabat pemerintah dan staf Thai Airways.

Perantara itu diminta untuk memberikan keuntungan pada pihak Rolls-Royce terkait pembelian mesin T800.

Pimpinan Thai Airways International, Charamporn Jotikasthira mengatakan, pihaknya telah membentuk panel untuk menyelidiki perkara tersebut dan menemukan individu yang terkait dugaan skandal tersebut, demikian dilaporkan Bangkok Post.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini