Sukses

'Keajaiban' dan Solidaritas Natal di Negara Mayoritas Muslim

Di Senegal, sekitar 95 persen masyarakatnya muslim. Namun siapa saja akan takjub menyimak kerukunan hidup antar umat beragama di sana.

Liputan6.com, Dakar - Perayaan Natal di negara yang didominasi populasi muslim cukup menarik untuk disimak. Salah satunya di Senegal.

Sekitar 92 - 95 persen rakyat di negara yang terletak di Afrika Barat itu merupakan umat muslim. Namun tiap tahunnya, perayaan Natal di gelar dengan meriah, tak terganggu dengan perbedaan yang mencolok.

Dengan mudah siapa saja dapat menjumpai dekorasi-dekorasi Natal seperti pohon Natal dan lampu-lampu berwarna-warni yang semakin memeriahkan suasana.

"Aku pernah mengatakan kepada seseorang bahwa aku mencintai toleransi agama di Senegal. Tapi mereka bilang itu bukan 'toleransi agama' melainkan 'solidaritas'. Aku menyukai istilah itu," ujar Ciku Kimeria dalam ulasannya seperti Liputan6.com kutip dari Quartz, Minggu, (25/12/2016).

Kerukunan dalam kehidupan beragama itu tak terlepas dari nilai Teranga yang terus dipelihara di dalam masyarakat Senegal. Secara harfiah, Teranga berarti keramahan.

Di Senegal sendiri dikenal sebuah ungkapan, "The beautifulness of the Senegalese land is Teranga"--"Keindahan dari tanah orang-orang Senegal adalah Teranga". Berlandaskan Teranga ini pula, masyarakat di negara itu sangat hangat dan ramah terhadap orang asing.

Mereka pun menghormati budaya dan cara hidup orang lain sekali pun itu bertentangan. Di jalan-jalan di ibu kota Dakar, dengan mudah akan dijumpai perempuan bercelana pendek atau rok mini berjalan bersama dengan perempuan lainnya yang berjilbab.

Tak ada konflik. Cara hidup seseorang akan dihormati di sana dan pada gilirannya orang tersebut juga harus menghormati cara hidup yang lainnya.

"Aku bertanya-tanya bagaimana kontradiksi ini muncul dan bagaimana masyarakat yang umumnya konservatif bisa menerima cara hidup orang lain. Menurutku itu disebabkan oleh sejumlah faktor: pertama, kesamaan budaya dari seluruh agama dikedepankan mendahului agama monoteistik.

"Kedua, kontrak sosial 'cousinage a plaisanterie' yang terjalin antar etnis sebelum kehadiran agama modern. Ketiga, tingkat kenyamanan yang tinggi dengan ambiguitas dan pengabungan agama (sinkrestime). Namun di balik semua itu Teranga adalah faktor terpentingnya," kata Kimeria.

Teranga dalam bahasa etnis Wolof tak hanya berarti keramahan, namun juga konsep berbagi. Di Senegal, wujud dari konsep berbagi itu kental dirasakan selama perayaan agama atau hari libur tertentu.

Seluruh rakyat Senegal, baik umat muslim dan Kristen bersama-sama menikmati hari libur perayaan agama tertentu.

Selama hari besar Islam, umat muslim memasak makanan khas untuk diberikan kepada tetangga mereka yang Kristen, begitu pun sebaliknya.

Selama Hari Paskah, umat Kristiani akan membuat Ngalakh--menu khas untuk sarapan--bagi keluarga mereka dan tetangga muslim. Ngalakh yang akan mereka konsumsi sendiri akan ditambahi wine, sementara Ngalakh bagi tetangga muslim tidak mengandung wine.

Pada perayaan Tabaski atau Idul Adha, warga muslim Senegal tak segan mengundang teman-teman Kristiani mereka untuk berpesta daging kambing.

Setidaknya terdapat 14 kelompok etnis di Senegal yang berbagi budaya serupa, namun berbicara dengan bahasa berbeda. Warisan perbedaan ini telah ada jauh sebelum agama Islam atau pun Kristen masuk ke wilayah itu.

Karenanya ada ungkapan bahwa pertama kali, rakyat Senegal akan melihat identitas mereka sebagai bagian dari komunitas sebelum merujuk pada agama mereka.

Cousinage a plainsanterie sendiri adalah kontrak sosial yang telah hidup selama berabad-abad yang memungkinkan masyarakat mengolok-olok satu sama lain, namun semua itu dalam koridor bercanda.

Secara lebih luas, makna cousinage a plainsanterie juga diterjemahkan sebagai "basa-basi antar sepupu" untuk mengingatkan kelompok etnis dan agama yang berbeda bahwa mereka berasal dari keluarga yang sama.

Bahkan sekali pun dalam keluarga yang sama, orang dapat meyakini agama yang berbeda. Namun keberadaan cousinage a plainsanterie membuat mereka tidak terpecah belah.

Hal tersebut pula yang menjelaskan mengapa kelompok ekstremisme agama sulit menemukan "pijakan" di Senegal. Masyarakat di sana cukup kecil, namun saling terhubung.

"Terkait dengan sinkretisme agama di Senegal, beberapa bulan lalu saat Tamkharit (Tahun Baru Islam), sejumlah pria berpakaian seperti wanita, juga sebaliknya. Anak-anak bermain treat or tricking ke rumah tetangga dan diberikan beras sebagai hadiah.

Makanan utama saat festival ini digelar adalah dari jenis couscous--pasta. Anak-anak diminta untuk makan lebih banyak atau mereka berisiko dipukuli oleh malaikat jahat yang bernama Abdou Diambar..

"Ya ada sebuah festival keagamaan lintas busana Hallowen di Senegal. Dan pada perayaan Idul Fitri, baik umat Kristiani mau muslim akan mengenakan baju baru, saling mengunjungi, dan memaafkan kesalahan mereka satu sama lain," jelas Kimeria.

Pada tahun 2004, ketika Kardinal Hyacinthe Thiandoum, uskup agung pertama dari Dakar meninggal dunia, kebanyakan pelayat yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir adalah warga muslim.

"Keluarga teman-temanku yang muslim memiliki poster dia di rumah mereka, ia dicintai sebagai pemimpin besar agama. Di Joal, kota kelahiran presiden pertama Senegal, terdapat kuburan muslim dan Kristen yang berdampingan. Di Senegal, persimpangan antara budaya dan agama 'kabur' dan magis," kata perempuan itu.

"Dunia bisa belajar banyak dari Senegal. Sangat jarang ditemukan tempat di mana terdapat fakta, keyakinan yang berbeda tidak membuat kemanusiaan kita berkurang. Mungkin aku tidak setuju dengan keyakinan Anda, namun menghormati Anda sebagai seorang manusia yang berhak memiliki pilihan dan menjalani kehidupan sesuai dengan cara terbaik bagi diri Anda."

"Dalam dunia di mana orang dibunuh karena berbagai perbedaan--agama, ras, suku, orientasi seksual dsb--kita perlu merayakan berita-berita yang mengingatkan kita bahwa kemanusiaan masih ada," tutupnya.

Saksikan juga video berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.