Sukses

Studi: Ribuan Pilot Punya Pikiran untuk Bunuh Diri

Dari survei itu, sekitar 4,1 persen dilaporkan memiliki pemikiran 'lebih baik mati atau menyakiti diri sendiri dalam dua minggu terakhir'.

Liputan6.com, London - Ratusan pilot pesawat terbang -- bahkan mungkin ribuan -- diduga mengalami depresi. Akibatnya, mereka memiliki pikiran untuk bunuh diri atau menyakiti diri sendiri. Hal itu diungkapkan oleh sebuah studi teranyar.

Studi akademis dari Universitas Harvard melakukan survei anonim kepada para pilot setelah Andreas Lubitz, seorang kopilot dari Germanwings yang diketahui depresi diduga kuat menabrakkan pesawatnya ke pegunungan. Mengakibatkan 149 orang tewas seketika.

Dari survei itu, sekitar 4,1 persen dilaporkan memiliki pemikiran 'lebih baik mati atau menyakiti diri sendiri dalam dua minggu terakhir', menurut jurnal Enviromental Health. Demikian dikutip dari The Independent, Jumat (16/12/2016).

Jika ini merupakan refleksi akurat dari tingkat masalah umum, itu berarti lebih dari 5.700 dari total sekitar 140.000 pilot maskapai di seluruh dunia merasakan hal yang sama.

Studi ini muncul bersamaan dengan kru kabin British Airways menggelar aksi mogok. Mereka mengatakan tak bisa terbang karena stres dan depresi.

Dalam jurnal Enviromental Health, para peneliti mengatakan mereka cukup terkejut dengan temuan itu.

"Ratusan pilot yang kini tengah terbang bisa mengatur depresi mereka bahkan yang memiliki pemikiran bunuh diri, tanpa ada kemungkinan pengobatan karena takut akan dampak negatif dari karier mereka," tulis riset itu.

Survei itu melibatkan sejumlah kuesioner tentang sejumlah subjek yang berbeda termasuk kesehatan mental. Dibuat "benar-benar anonim" untuk mencoba  mendapatkan jawaban asli dari peserta, yang datang dari seluruh dunia.

Kecelakaan Germanwings (Reuters)

Dari 1.848 pilot yang merespons bagian kesehatan mental mereka, 233 penerbang (12,6 persen) tampaknya depresi.

Sekitar 75 pilot (4,1 persen) melaporkan "memiliki pikiran lebih baik mati atau menyakiti diri sendiri dalam dua minggu terakhir". Dari mereka, 49 di antaranya telah bekerja sebagai pilot dalam sebulan terakhir.

Sebanyak 24 lainnya mengatakan masalah "membuatnya sangat atau sangat sulit bagi mereka untuk bekerja, mengurus hal-hal di rumah, atau terlibat dalam hubungan yang sehat dengan orang-orang".

Pelecehan seksual dan verbal kepada pilot juga disorot oleh para peneliti sebagai masalah khusus pada kuesioner.

"Pilot perempuan dilaporkan memiliki hari-hari di mana kesehatan mental buruk lebih banyak dan diagnosis lebih depresi daripada pilot laki-laki," kata peneliti.

"Prevalensi tinggi depresi pada korban yang sering alami pelecehan seksual atau lisan dalam penelitian kami, memberikan bukti lebih lanjut dari keberadaannya di antara pilot, efek negatif yang mendalam pada korban, dan kebutuhan mendesak untuk menghilangkan bentuk pelecehan para pekerja."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

'Silent Killer'

Dr Rob Hunter, kepala keselamatan penerbangan untuk Asosiasi British Airline Pilots mengatakan, "pilot umumnya memiliki kesehatan fisik dan mental yang sangat baik".

"Tapi, seperti dalam semua lapisan masyarakat, beberapa pilot menderita depresi dan masalah kesehatan mental lainnya dan masalah berlaku di banyak, jika tidak semua, pekerjaan yang menuntut keselamatan," kata Hunter.

"Pelajaran yang kita perlu ambil dari Germanwings, dan dari studi ini, adalah bahwa setiap orang perlu bekerja untuk menghapus stigma yang melekat pada kesehatan mental, dan bahwa tidak ada yang harus memiliki rasa takut untuk membahasnya atau melaporkan hal itu. Ini bisa saja menjadi silent killer atau pembunuh diam-diam," lanjut dokter Hunter.

"Seperti halnya keselamatan penerbangan, mengubah budaya itu sulit, tapi perlu. Kita perlu menumbuhkan suasana atau dukungan dan pengertian, dan pilot harus merasa mampu untuk maju tanpa rasa takut."

Madeleine McGivern, kepala program kesejahteraan kerja di lembaga amal khusus kesehatan mental 'Mind', mengatakan penelitian ini menunjukkan ada kebutuhan untuk maskapai "untuk secara teratur menilai kesehatan mental semua pilot ', sehingga mereka dapat mengidentifikasi masalah kesehatan yang ada dan apakah ini bisa mempengaruhi kemampuan seseorang untuk terbang".

Namun dia menambahkan, "Asumsi tentang risiko tidak boleh dilakukan  secara pukul rata untuk orang dengan depresi atau penyakit lainnya, mental atau fisik."

"Akan ada pilot dengan pengalaman masalah kesehatan mental yang telah terbang dengan aman selama beberapa dekade, dan penilaian harus dilakukan berdasarkan kasus per kasus," ujar McGivern.

Dia mengatakan sikap terhadap kesehatan mental bisa mencegah orang berbicara kepada orang-orang terdekat mereka "apalagi majikan mereka".

"Ini penting bahwa semua tempat kerja - termasuk penerbangan - menciptakan sebuah lingkungan di mana staf merasa mampu berbicara tentang kesehatan mental yang buruk, sehingga langkah-langkah untuk mendukung kesejahteraan mereka dapat dilakukan dengan benar," kata McGivern.

"Orang-orang dengan masalah kesehatan mental dapat dan bisa memberikan kontribusi yang berharga untuk tempat kerja, termasuk dalam pekerjaan yang menantang dan menuntut Anda akan sering bergaul dengan industri penerbangan," tutupnya.

Sementara itu, serikat pekerja Inggris, Unite mengklaim bahwa "lebih dari dua-pertiga (awak kabin) akan bekerja dengan kondisi tidak layak terbang karena mereka tidak bisa  minta libur sakit."

Mereka menambahkan bahwa 84 persen dari staf mengatakan keadaan keuangan mereka sejak bergabung dengan British Airways telah menyebabkan "stres dan depresi" dan beberapa di antara mereka memilih "tidur di mobil di antara penerbangan karena mereka tidak mampu membeli bensin untuk pulang".

Pejabat regional Unite, Matt Smith, mengatakan: "Upah yang rendah adalah masalah keamanan."

Namun, British Airways mengatakan, "Keselamatan selalu menjadi prioritas kami. Kami menjunjung tinggi standar keamanan tertinggi dan memenuhi atau melampaui standar Inggris, Eropa dan peraturan internasional lainnya."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.