Sukses

'Penghilangan' 2 Huruf Ini Hancurkan Kemenangan Hillary Clinton?

Kebocoran email Komite Nasional Demokrat jadi alasan utama di balik kekalahan menyakitkan Hillary Clinton dari lawannya Donald Trump.

Liputan6.com, Washington DC - Kebocoran email Komite Nasional Demokrat (Democratic National Committee/DNC) diyakini menjadi alasan utama di balik kekalahan menyakitkan Hillary Clinton dari lawannya Donald Trump dalam Pilpres AS 2016.

Celah kebocoran itu diduga kuat berasal dari hal sepele. Investigasi yang dilakukan New York Times menemukan, para hacker asal Rusia yang meretas email tersebut diyakini mendapatkan akses ke ribuan email dari para petinggi Demokrat gara-gara salah ketik atau typo.

Seorang staf diduga mengetik kata 'legitimate', bukan 'illegitimate' seperti yang seharusnya. Dua huruf yang hilang tersebut berakibat fatal.

Jelang pilpres, Komite Nasional Demokrat menerima banyak email phishing -- yang berusaha untuk secara curang memperoleh informasi data pribadi. Salah satunya dikirimkan ke John Podesta, ketua tim kampanye Hillary Clinton.

Salah satu stafnya, Charles Delavan menemukan pesan tersebut yang dikirimkan ke akun pribadi Podesta. Email itu meminta Podesta mengganti kata sandinya (password).

Delawan menyadari, email tersebu adalah serangan pengelabuan (phishing attack) dan meneruskannya ke teknisi komputer untuk ditangani.

Namun, ia salah tulis, dengan menulis, "Ini adalah email yang sah (legitimate)."

Ia kemudian menambahklan, "John (Podesta) perlu mengubah passwordnya segera."

Kesalahan tersebut memungkinkan para peretas yang diduga kuat berkaitan dengan Kremlin bisa mengakses sekitar 600 ribu email dalam akun pribadi Podesta di Gmail.

Berdasarkan keterangan para pejabat intelijen AS, Moskow kemudian memberikan cache email tersebut ke WikiLeaks.

Situs pembocor tersebut kemudian merilis data-data tersebut pada Oktober 2016. Skandal email yang kemudian mendominasi pemberitaan kemudian dieksploitasi oleh kubu Donald Trump.

New York Times melaporkan, FBI sudah mengetahui bahwa Rusia melakukan upaya sistematis untuk merilis sejumlah institusi politik di AS termasuk Gedung Putih dan Kementerian Luar Negeri.

Pada September 2015, FBI menemukan bahwa sebuah tim mata-mata siber yang dikaitkan dengan Pemerintahan Rusia menerobos paksa sistem komputer DNC.

Namun, alih-alih mengirimkan delegasi tingkat atas dan mengeluarkan peringatan, FBI justru memerintahkan seorang agennya menelepon kubu Demokrat.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Respons yang Meremehkan

Agen tersebut, Adrian Hawkins menelepon DNC yang diterima tim IT. Kepada kontraktor IT yang bertugas saat itu, Yared Tamene, ia mengatakan bahwa sebuah kelompok yang disebut 'Dukes' telah meretas komputer DNC.

Namun, menurut New York Times, Tamene mengira pesan dari Hawkins tak sungguh-sungguh, disangka ulah iseng. Ia kemudian mencari kelompok bernama 'Dukes' di Google namun tak menemukan apapun.

Ia tak menyampaikan peringatan tersebut ke staf senior, setelah dalam penelusuran sepintas di sistem log komputer tak menemukan adanya tanda- tanda jelas adanya peretasan.

Hawkin kembali menelepon beberapa pekan setelahnya. Namun, Tamene tak merespons. "Saya tak menghubunginya balik, karena tak ada yang harus saya laporkan," kata dia dalam memo yang dilihat New York Times.

Pendekatan FBI yang terkesan tak serius memberi peluang pada para peretas Rusia untuk menjelajah di dalam sistem komputer DNC selama hampir tujuh bulan -- sebelum akhirnya pejabat Demokrat menyadari serangan tersebut dan melibatkan pakar keamanan siber dari luar.

Pada bulan Maret 2016 kelompok hacker Rusia kedua menargetkan DNC. Mereka mengirimkan ratusan email pishing, yang dimulai dengan kalimat, "Seseorang menggunakan password Anda untuk mencoba masuk ke akun Google."

Salah satu korbannya adalah Billy Rinehart, mantan direktur lapangan regional DNC yang mengklik pesan itu saat sedang mengantuk berat.

Menurut New York Times, aparat pemerintah Barack Obama gagal merespons dengan cepat ancaman peretasan, meremehkan keseriusan, dan membesar- besarkan peluang untuk menghentikannya.

Akibatnya, kehebohan skandal email merusak prospek kemenangan Hillary Clinton dan membuat Donald Trump memenangkan kursi menuju Gedung Putih -- tujuan yang memang ingin diraih Kremlin.

Setelah peretasan, DNC mempekerjakan perusahaan keamanan siber CrowdStrike -- yang langsung mengetahui bahwa pelaku peretasan dari Rusia.

Pihak CrowdStrike juga mengidentifikasi dua kelompok, Cozy Bear dan Fancy Bear.

Cozy Bear, yang terkait dengan agen mata-mata Rusia FSB, memulai aksinya pada musim panas 2015.

Fancy Bear bergabung melakukan serangan pada Maret 2016. Kelompok peretas itu terkait dengan intelijen militer Rusia atau GRU.

Fancy Bear lah yang meretas email milik Podesta. Dua kelompok hacker Kremlin tampaknya tak menyadari aksi satu sama lain -- mereka terkadang menimbun dokumen curian yang sama.

Dmitri Alperovitch, salah satu pendiri sekaligus chief technology officer CrowdStrike mengatakan, tak ada keraguan bahwa Rusia terlibat dalam peretasan.

"Tak ada aktor lain yang dianggap masuk akal, yang punya keterkaitan dengan semua korban, selain Rusia," kata dia, seperti dikutip dari Guardian, Rabu (14/12/2016).

Selain itu, dia menambahkan, masa aktif kelompok hacker itu cocok dengan jam kerja yang berlaku di Moskow.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.