Sukses

RI Dituding Lakukan Eksekusi Mati terhadap Penyandang Disabilitas

Eksekusi terhadap WNA Brasil, Rodrigo Gularte pada 2015 lalu dianggap menyalahi prosedur. Benarkah?

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Komisi Nasional HAM Yosa Nainggolan kembali meminta pemerintah menghapus hukuman mati. Hal ini disampaikan jelang Indonesia menyampaikan laporan Tinjauan Periodik Universal (UPR) ke Dewan HAM PBB.

Menurut Yosa, penghapusan hukuman mati bukan hanya karena bertentangan dengan HAM, tapi dalam pelaksanaannya Indonesia telah menyalahi beberapa prosedur.

Salah satunya ketika mengeksekusi warga negara asing (WNA) asal Brasil, Rodrigo Gularte. Pria tersebut dieksekusi 2015 lalu.

"Salah satu terpidana mati yang teridentifikasi penyandang disabilitas skizofrenia, Rodrigo Gularte. Itu seharusnya bisa ditinjau untuk tidak melaksanakan hukuman mati, tapi pemerintah tetap melaksankannya," ucap Yosa di Hotel Sari Pan Pacific, Rabu (14/12/2016).

Yosa menambahkan, dorongan agar Indonesia segera mengakhiri hukuman mati disebabkan lebih dari 10 tahun sudah belasan orang yang meninggal akibat eksekusi.

"Rekomedasinya adalah pemerintah harus menghapus hukuman mati di semua peraturan perudang-undangan," ucap dia.

Menanggapi permintaan penghapusan hukuman mati dari Komnas HAM, Direktur HAM Kementerian Luar Negeri, Dikcy Komar menyatakan hal tersebut belum bisa diterima.

"Rekomendasi mengenai hukuman mati merupakan salah satu rekomendasi yang kita tolak, di tingkat nasional dan juga global perdebatan mengenai hukuman mati masih berlangsung," ujar Dicky.

Meski demikian, menolak tak dapat diartikan Indonesia sama sekali tidak mau mendengar nasihat. Ia memastikan ke depannya, semua masukan terkait masalah eksekusi akan terus jadi bahan pertimbangan pemerintah.

"Saya bisa pastikan pemerintah sangat terbuka, di tingkat nasional jelas demikian juga di global," sebutnya.

Dicky menegaskan itu adalah bukti pemerintah serius memikirkan soal untuk mempertimbangkan pelaksanaan hukuman mati di masa mendatang.

Selain itu, Dicky mengingatkan, selama hampir 10 tahun, RI sempat tidak melaksanakan eksekusi. Bahkan, langkah ini sempat diapresiasi beberapa pengamat internasional.

"Dari 2004 sampai 2013 pakar hubungan internasional menganggap kita de facto moratorium, karena di situ tak ada eksekusi. Itu membuktikan pemerintah masih terbuka dalam opsi-opsi yang ada," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini