Sukses

Kisah Gadis yang Hidup Sebagai Pria dan Jadi Mualaf di Aljazair

Isabelle Eberhardt berpetualang ke tanah jauh di Aljazair. Namanya nyaris terlupakan dalam sejarah.

Liputan6.com, Jakarta - Pada penghujung Abad ke-19, Isabelle Eberhardt memutuskan nekat berpetualang ke tanah jauh. Usianya kala itu masih muda, nyaris tak punya uang sama sekali, namun jiwanya bergelora, gadis itu ingin cepat-cepat meninggalkan kehidupannya yang tak bahagia di Swiss.

"Jiwaku tak akan pernah puas dengan hidup yang ajeg. Aku selalu dihantui dengan pikiran bisa mandi matahari di tempat lain," kata Isabelle, menceritakan alasannya pergi seperti tertera dalam buku The Nomad: The Diaries of Isabelle Eberhardt, yang dikutip dari situs Atlas Obscura, Sabtu (10/12/2016). 

Lahir di Jenewa pada 1877, sebagai anak yang tak sah dari ibu yang aristokrat dan ayahnya -- seorang pemuka agama yang banting setir jadi guru sekaligus pengikut gerakan anarkis-- Alexandre Trofimovsky.

Berkat bimbingan sang ayah, pada usia 16 tahun ia lancar bicara tujuh bahasa termasuk Arab.

Ayah yang nyentrik itu juga kerap mengajak putrinya membaca kitab suci Alquran bersama.

Sang ibu sebelumnya adalah istri seorang jenderal -- yang berselingkuh dengan ayah Isabell yang dipekerjakan sebagai tutor.

Karena itulah, Isabell tak punya hak mendapat warisan.

Sejak belia Isabell kerap menyamar sebagai anak laki-laki bekerja sebagai pembantu kapal di Marseille. Juga menulis dengan nama samaran.

Di Aljazair, Isabelle Eberhardt menyamar sebagai pria (Wikipedia)

 

Kemudian petualangan dimulai. Dari Eropa, Isabelle menuju ke negara di pesisir Laut Tengah, Afrika Utara: Aljazair.

Kala itu, ia diundang ke Bone (sekarang Annaba), atas undangan Louis David, fotografer berdarah campuran Aljazair dan Prancis yang terpesona dengan tulisannya yang menggambarkan kehidupan beragama di Afrika Utara, Nouvelle Revue Moderne.

Isabelle pergi bersama sang ibu pada tahun 1897. Awalnya mereka tinggal dengan keluarga David, sebelum akhirnya memutuskan untuk menyewa sebuah rumah bergaya Arab yang jaraknya jauh dari pemukiman orang Eropa.

Seperti dikutip dari Vintage News, Isabell kerap berpakaian seperti pria Arab, mengenakan jubah and turban. Semua ulahnya membuat gadis itu dibenci para pemukim Eropa. Ia juga berada di bawah pengawasan pemerintah kolonial Prancis karena dianggap mata-mata.

Baik Isabel dan ibunya kemudian memeluk agama Islam. Setelah meninggal dunia pada 28 November 1897, sang ibu dimakamkan dengan nama Fatma Mannoubia tertulis di batu nisannya.

Setelah ayahnya tiada, Isabell memutuskan hubungan dengan Eropa dan masa lalunya. Ia menetap di Aljazair. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Hidup Sebagai Pria

Di Aljazair, Isabelle hidup sebagai pria bernama Si Mahmoud Essaadi. Ia mengaku sebagai seorang mahasiswa.

Perempuan berpikiran bebas dan mandiri itu kemudian bergabung dengan sekte sufi rahasia, Qadiriyyah -- yang didedikasikan untuk membantu orang miskin dan menentang kekuasaan kolonial Prancis di Aljazair.

Perempuan itu merasa paling bahagia ketika hidup "seperti anjing liar," menunggang kuda melewati gundukan pasir Sahara dan tidur sendirian di bawah bintang-bintang. Kehidupannya kala itu konon liar.

Saat kehabisan uang, ia menuju Paris untuk mencari uang sebagai penulis. Di sana ia bertemu Marquis de Mores -- yang suaminya tewas terbunuh di Sahara.

Perempuan yang menjanda itu menawarkan diri untuk membiayai Isabelle ke Aljazair, untuk menyelidiki pembunuhan suaminya. Pada tahun 1900, perempuan pemberani itu kembali dan tinggal ke El Oued.

Isabelle menulis puluhan cerita dan artikel. Ia juga kerap ikut serta dalam protes anti-kolonialisme.

Sikapnya itu yang mungkin membuatnya kemudian jadi target pembunuhan pada 1901. Kala itu di kota gurun Behima, Isabell diserang oleh seorang pria lokal dengan pedang. Lengan kirinya hampir putus.

Meskipun penyerangnya mungkin disewa pihak Prancis, dalam sidang Isabell memohon agar pelaku tak dihukum mati. Permohonannya tak dipenuhi.

Ia kemudian bertemu dengan seorang anggota militer Slimane Ehnni, jatuh cinta, keduanya lalu menikah. Isabell kemudian bekerja sebagai wartawan perang di barat daya Aljazair dan terus menulis jurnalnya.

Isabelle Eberhardt meninggal dunia pada usia 27 tahun saat berusaha menyelamatkan sang suami (Wikipedia)

Kehidupan keras berpengaruh pada fisiknya. Pada usia 27 Isabelle nyaris tak memiliki gigi, kehilangan hampir semua rambutnya, dan harus bolak balik ke rumah sakit.

Pada tahun 1904, Isabell Eberhardt meninggal dunia saat menyelamatkan nyawa suaminya ketika banjir bandang menerjang rumah mereka yang sederhana di Ain Sefra.

Kisah hidupnya mungkin tak akan pernah diketahui jika editornya tak menerbitkan tulisan-tulisannya secara anumerta -- meski dengan banyak sensor dan pelintiran.

Pada awal 1920-an, sekarung penuh naskah yang belum selesai, catatan, dan buku harian ditemukan di bawah reruntuhan rumah Isabelle Eberhardt meninggal.

Karya-karya Isabell kemudian diterbitkan dalam tiga buku: The Wilder Shores of Love, Writings From the Sand, dan The Oblivion Seekers -- yang memberi wawasan sejarah tentang kehidupan warga Eropa di tengah warga lokal Aljazair. Yang menarik, penulisnya adalah seorang perempuan yang menyamar jadi pria. 

Buku-buku itu juga mengisahkan tentang kehidupan singkat, mistis, romantis seorang Isabell Eberhardt -- wanita muda yang gelisah, berpikiran bebas, dan nekat. 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.