Sukses

Penuturan Miss World 1998 Soal Kekerasan Seksual yang Dialaminya

Melalui sebuah film, Miss World 1998 sekaligus penyintas kekerasan seksual menyeru agar penyintas lain mau bersuara soal kisah pahit mereka.

Liputan6.com, Jakarta - Hanya tujuh minggu sebelum mewakili Israel untuk berkompetisi dalam Miss World 1998, Linor Abargil diculik, ditusuk, dan diperkosa. Kala itu, Linor berusia 18 tahun.

Kejadian yang mengguncang jiwa Linor itu terjadi di Milan, Italia, ketika dirinya bekerja sebagai model. Ia ditipu oleh seorang agen perjalanan asal Israel, yang menjanjikannya mengantar pulang kembali ke keluarganya. Namun, apa yang terjadi justru berubah menjadi petaka.

Setelah berhasil kabur dari pelaku, Linor menelepon ibunya. Melalui dukungan sang ibu, ia pergi ke kantor polisi dan rumah sakit di Roma untuk melaporkan apa yang ia alami dan menjalani pemeriksaan medis.

Mereka diminta untuk menyembunyikan masalah tersebut agar tak menghalangi pelaku terbang ke Israel, di mana polisi Israel bekerja sama dengan pihak berwenang Italia telah menunggu untuk menangkapnya. Berkat kerja sama tersebut, pelaku bernama Uri Schlomo Nur berhasil ditangkap.

Perempuan kelahiran 17 Februari 1980 itu tetap melenggang ke ajang Miss World untuk mewakili negaranya, seolah-olah dirinya tak mengalami apa-apa.

Tak disangka, pada November 1998 Linor Abargil terpilih menjadi pemenang Miss World. Kala itu dunia tak tahu bahwa pemenang kontes kecantikan tersebut baru saja mengalami kejadian paling kelam sepanjang hidupnya.

Setelah dinobatkan sebagai Miss World 1998, Linor memutuskan untuk membuka suara tentang kekerasan seksual yang dialaminya. Ia pun berjanji untuk memberi bantuan dan dukungan kepada orang-orang di seluruh dunia yang mengalami nasib serupa dengannya.

Linor Abargil saat memenangkan Miss World 1998 (Reuters)

Untuk memenuhi janjinya, ia memulai perjalanan untuk menyembuhkan lukanya dan di saat yang sama memberi dukungan kepada para penyintas agar tak malu untuk berbicara. Linor juga mulai mengunjungi beberapa negara di dunia untuk membagi kisahnya dan mengisi sejumlah kegiatan, termasuk pergi ke Afrika Selatan dan Amerika Serikat.

Namun, ada satu titik di mana Linor memutuskan berhenti membagi kisah dan mendukung orang lain. Saat itu, ia kembali merasa terpuruk.

Beberapa bulan setelah mengisolasi dirinya, Linor memutuskan untuk bangkit kembali berkat dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat yang tulus mendukung agar dirinya meraih kebahagiaan.

Meski sempat mengalami trauma akibat kekerasan seksual yang pernah dialaminya, Linor menikah pada 2006 dengan pemain NBA Sarunas Jasikevius dan tinggal di Los Angeles. Namun, pernikahannya hanya berlangsung setahun.

Ia pun kembali ke Israel dan mendaftar sebagai mahasiswa di sekolah hukum. Linor berharap bahwa gelar di bidang hukumnya dapat digunakannya untuk membela penyintas kekerasan seksual.

Pada 2008, ia meluncurkan website dan mulai berbicara secara gamblang tentang perkosaan yang di alaminya. Dari sana, ia menyeru kepada para penyintas untuk berbicara dan membawa kasusnya ke ranah hukum agar pelaku mendapat hukuman yang setimpal.

Walaupun sempat mengalami kegagalan dalam rumah tangga, Linor kembali menikah pada Agustus 2010 dengan sahabatnya, Oron Kalfon.

Dengan dukungan suami dan keluarganya, ia memutuskan untuk mendokumentasikan perjalanannya dalam perjalanan pemulihan jiwa sekaligus memberi dukungan kepada penyintas lain ke dalam sebuah film berjudul Brave Miss World.

Kini, Linor menjadi aktivis perempuan dan membuat gerakan #IAMBRAVE. Ia menjadi inspirasi bagi banyak sintas pemerkosaan di seluruh dunia.

'Victim Blaming' dan Peranan Media

Dalam rangka Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan yang jatuh pada 25 November, empat alumni International Visitors Leadership Program (IVLP) USAyang bekerja sama dengan @america mengadakan pemutaran film Brave Miss World yang dilanjutkan dengan diskusi.

Pada kesempatan itu produser film Brave Miss World, Cecilia, turut bergabung dalam kegiatan diskusi via Skype. Produser, direktur, dan aktris Hollywood itu mengungkapkan tujuan dibuatnya film tersebut.

"Film ini ingin membuat para penyintas agar tidak merasa bersalah dan membuat mereka mau berbicara," ujar Cecilia.

Maraknya victim blaming atau menyalahkan korban, khususnya dalam kasus kekerasan seksual, juga menjadi highlight dalam film dan diskusi yang dilakukan di @america tersebut.

"Budaya di Indonesia menempatkan korban kekerasan seksual menjadi tambah bersalah," kata Devi Sumarno yang merupakan founder dari Rumah Ruth, Bandung.

Senada dengan apa yang dikatakan oleh Devi, Cecilia juga mengingatkan bahwa kata pertama yang didengar oleh korban kekerasan seksual memberikan dampak signifikan terhadap mereka ke depannya.

"Pilih orang yang tepat untuk melaporkan apa yang terjadi. Dalam film, Linor memilih untuk bercerita dengan ibunya," tutur Cecilia.

(Kiri ke kanan) Monique Rijkers, Devi Sumarno, dan Alex Junaidi setelah diskusi yang diadakan di @america (Liputan6.com/Citra Dewi)

Dalam film tersebut ibu Linor tidak langsung menghakimi anaknya, namun ia memberi dukungan kepada Linor dan membuatnya tenang. Selain itu, sang ibu juga meminta anaknya agar tidak mandi terlebih dahulu, agar tak menghilangkan barang bukti berupa sidik jari dan DNA pelaku.

Selain membahas soal victim blaming, peranan media untuk menekan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan juga diangkat dalam diskusi yang dimoderatori oleh Produser Jawa Pos TV, Monique Rijkers, pada Rabu (23/11/2016) tersebut.

"Bagaimana media melaporkan soal kekerasan seksual terhadap perempuan, mempengaruhi bagaimana tiap individu melihat kekerasan terhadap perempuan, bagaimana kita membicarakannya, dan apa yang kita lakukan sebagai masyarakat," ujar Wakil Juru Bicara Kedutaan Besar Amerika Serikat, Alexia Branch.

Selain itu, jurnalis Jakarta Post dan Chairman SeJuk Alex Junaidi mengatakan, budaya patriarki di Indonesia membuat perempuan dianggap sebagai properti dan kadang media justru meng-highlight hal tersebut.

Lalu, apa yang dapat dilakukan media agar laki-laki tergerak untuk tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual?

"Harus diyakinkan bahwa, kalau kesetaraan gender, penghormatan pada perempuan bisa dilakukan, itu tidak hanya menguntungkan perempuan, tapi dia akan menguntungkan laki-laki dalam kehidupannya," jawab Alex.

Alex juga mengingatkan bahwa media harus berhati-hati ketika mengangkat kasus soal kekerasan seksual, di mana sudut pandang yang diambil harus memihak kepada korban dan memenuhi standar tertentu ketika mewawancara penyintas.

"Penyintas sebaiknya didampingi oleh seseorang seperti psikolog. Selain itu diksi juga harus dipilih ketika mewawancara penyintas," ungkap dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini