Sukses

Tim Transisi Donald Trump Rencanakan Registrasi Massal Muslim AS

Kebijakan registrasi nasional muslim di AS disebut-sebut sebagai bagian dari kebijakan anti-imigran yang diinisiasi Donald Trump.

Liputan6.com, Washington - Salah satu anggota tim transisi pemerintahan Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump, Kris Kobach, menyampaikan pernyataan mengejutkan. Ia menyatakan pemerintahan baru negara tersebut berencana mendaftarkan semua umat Muslim di Negeri Paman Sam.

Hal tersebut akan disertakan satu paket dengan pembangunan tembok di perbatasan Meksiko dan Amerika Serikat. Menurut Kobach, kedua rencana itu saat ini sedang dibahas serius oleh tim transisi pemerintahan.

"Tim imigrasi sudah menyusun apa yang akan didiskusikan bersama presiden terpilih. Oleh sebab itu, Trump dan Kementerian Keamanan Negara segera memanfaatkan kesempatan ini," sebut Kobach seperti dikutip dari Reuters, Kamis (17/11/2016).

Dia mengatakan, langkah mendaftarkan seluruh warga Muslim yang berada di AS adalah bentuk penerapan kebijakan pemeriksaan ketat bagi seluruh imigran. Kebijakan ini merupakan ide dari Donald Trump.

"Untuk saat ini, kelompok penyusun kebijakan imigrasi kami sudah bisa merekomendasikan kembali kebijakan registrasi imigran yang ingin masuk dan sudah berada di AS secara nasional. Kebijakan ini diterapkan terutama kepada imigran yang berasal dari negara-negara asal kelompok ekstrem aktif," sebut dia.

Sementara, untuk urusan pembangunan tembok, Kobach mendorong Kementerian Keamanan Dalam Negeri segera merealisasikan rencana tersebut. Bahkan tanpa perlu persetujuan dana Kongres AS di tahun ini.

"Ini tidak usah disetujui dalam anggaran yang ada sekarang. Nantinya, di fiskal tahun depan kita akan mengalokasikan tambahan anggaran ke sana," tutur dia.

Kobach saat ini merupakan Pejabat Urusan Luar Negeri, Negara Bagian Kansas. Di masa pemerintahan Presiden George W Bush, ia ikut membatu membuat Sistem Keamanan Nasional Registrasi Keluar-Masuk AS (NSEERS).

Kebijakan ini diimplementasikan usai serangan 9/11 terjadi di New York, pada 2001 lalu. Otak aksi teror tersebut adalah kelompok ekstrem Al Qaeda.

Saat AS menerapkan NSEERS, masyarakat dari negara-negara yang diidentifikasi "berisiko tinggi" saat masuk ke AS harus diinterogasi terlebih dulu serta melakukan pengecekan sidik jari. Sekiranya ada 16 negara yang masuk dalam kategori tersebut.

Sistem NSEERS akhirnya dihapus pada 2011. Kementerian Keamanan Dalam Negeri menganggap kebijakan itu sesuatu yang berlebihan.

Ketika itu, kelompok penggiat HAM menyampaikan kritik tajam terhadap NSEERS. Mereka menyebut sistem ini tidak adil dan sengaja menargetkan kepada imigran dari negara-negara Muslim.

Kobach sudah lama disebut sebagai salah satu tokoh anti-imigran. Pada 2010, ia menyusun kebijakan hukum di Negara Bagian Arizona yang mengizinkan Kepolisian melakukan pengecekan status imigran.

Pada 2013, di Kansas, ia pula yang menginisiasi, kebijakan bagi para imigran yang sudah menjadi warga negara AS dan ingin memilih, saat menggunakan hak demokrasinya di pemilu untuk membawa bukti sah seperti data-data kewarganegaraan, akte lahir dan paspor AS.

Dalam sebuah wawancara dengan media lokal AS, Kobach menegaskan kebijakan keras terhadap imigran hingga deportasi, adalah bentuk langkah preventif sebelum mereka melakukan tindak kriminal.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.