Sukses

Presiden Iran: Adu Mulut Hillary Vs Trump Mewakili Moralitas AS

Presiden Rouhani mengatakan perang mulut yang terjadi antara Hillary dan Trump menunjukkan kurangnya moralitas di AS.

Liputan6.com, Teheran - Presiden Iran, Hassan Rouhani, menggambarkan dua calon presiden yang bertarung dalam pilpres Amerika Serikat (AS) adalah yang 'buruk dan terburuk'. Ia mengkritik perang kata-kata antara Hillary Clinton dan Donald Trump. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan kurangnya moralitas di Negeri Paman Sam.

"Amerika mengklaim telah menjalankan demokrasi lebih dari 200 tahun dan mereka telah melalui 50 pilpres. Namun sama sekali tak ada moralitas di negara itu," kata Presiden Rouhani dalam pidatonya di pusat Kota Arak yang tayang di televisi Iran dan dilansir Reuters, Senin (24/10/2016).

"Anda lihat debat presiden, bagaimana mereka bicara, mereka menuduh, dan mengejek satu sama lin," ujarnya.

Lebih lanjut, Rouhani yang terpilih sebagai presiden Iran ke-7 pada 3 Agustus 2013 tersebut menceritakan, ia pernah ditanya oleh salah seorang kepala negara, siapa yang dijagokannya dalam pilpres AS.

"Aku katakan, haruskah aku memilih yang buruk dibanding yang lebih buruk atau sebaliknya?," ujar politisi yang kemungkinan akan mencalonkan diri kembali pada pilpres 2017.

Namun Rouhani tak menjelaskan lebih lanjut dengan istilah 'buruk dan lebih buruk' tersebut.

Trump Tertinggal

Sementara itu di Negeri Paman Sam, manajer kampanye Trump, Kellyane Conway mengakui bahwa pihaknya telah tertinggal dari Hillary. Pengakuan Conway itu muncul menjelang pemungutan suara yang akan berlangsung kurang lebih dua pekan lagi.

"Kami tertinggal. Dia (Hillary) memiliki beberapa keuntungan. Tapi kami tidak menyerah. Kami tahu kami bisa memenangkan ini," ujar Conway.

Pada Jumat lalu, Trump membuat pengakuan langka. Ia mengatakan bukan tak mungkin ia kalah dalam pilpres.

Seperti dikutip dari CNN, Hillary unggul dalam berbagai jajak pendapat nasional dan di sejumlah negara bagian kunci.

Tim kampanye Hillary memprediksi pilpres kali ini 'akan menjadi pemilu terbesar dalam sejarah Amerika'.

"Akan ada lebih banyak orang yang berpaling dibanding sebelumnya," ujar manajer kampanye Hillary, Robbie Mook kepada Fox News Sunday.

Jajak pendapat di sejumlah negara bagian seperti Utah dan Arizona yang selama ini dikenal sebagai basis Republik menunjukkan, kemungkinan besar keduanya akan mengalihkan dukungannya kepada Demokrat. Ini merupakan peristiwa bersejarah karena pertama kalinya dalam beberapa dekade.

"Demografi di negara bagian terus berubah. Jika ada kenaikan dalam pemilih Latino--di mana ini hampir terjadi--ini akan diikuti dengan peningkatan pendaftar partai dan Arizona akan menjadi medan pertempuran nyata dalam pemilu mendatang," ujar profesor politik, Richard Herrera dari Arizona State University.

Bagi Demokrat, ini adalah sebuah skenario bak mimpi yang memberikan mereka jalan baru dan menjanjikan bagi kesuksesan pemilu. Namun bagi Republik, ini bisa menjadi pertanda mimpi buruk politik jangka panjang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini