Sukses

'Raib' Pasca-Perang Saudara, Wapres Sudan Selatan Didepak?

Machar belum terlihat sejak bentrokan di Sudan Selatan yang menewaskan 300 orang pada 2 pekan lalu.

Liputan6.com, Juba - Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir, menggantikan Riek Machar dari jabatannya sebagai wakil presiden pertama. Langkah itu diambil dua pekan setelah pasukan pemimpin kubu oposisi bentrok di ibukota.

Machar seperti raib, belum terlihat sejak bentrokan yang menewaskan 300 orang dan memicu kebangkitan perang saudara yang telah menewaskan puluhan ribu jiwa.

Seperti dilansir dari BBC, Selasa (26/7/2016), Machar digantikan oleh Taban Deng Gai, mantan negosiator perdamaian di sana.

Penggantian itu dikritik oleh pendukung Machar, meski mendapat dukungan dari partai sang presiden.

Wartawan BBC di Nairobi, Alastair Leithead, mengatakan langkah tersebut semakin membuat rumit situasi politik yang sudah tegang. Menurutnya, ada kekhawatiran bahwa para pendukung Machar kemungkinan mengklaim bahwa kesepakatan damai dengan Presiden Kiir telah rusak.

Kondisi tersebut bisa memicu perang sipil lebih lanjut, kecuali mayoritas politisi oposisi memutuskan untuk mendukung keputusan baru tersebut.

Selama bentrokan di awal Juli, pasukan Machar dipersenjatai oleh pasukan yang setia kepada presiden. Banyak dari pengawalnya tewas.

Pemimpin pemberontak meninggalkan ibukota, Juba, menuntut pengerahan pasukan penjaga perdamaian netral yang akan menjamin keselamatannya.

Menurut kantor berita AFP, Machar juga memecat Gai sebagai menteri pertambangan lebih dari seminggu yang lalu. Namun sejumlah anggota partai Machar justru keluar dan mendukung Gai, lalu mencalonkannya sebagai wakil presiden interim tanpa kehadiran Machar.

Gai dilaporkan akan mengundurkan diri jika Machar kembali ke Juba. Ia juga berjanji membantu membawa perdamaian ke Sudan Selatan.

Sudan Selatan merdeka dari Sudan pada tahun 2011, tetapi sejarah singkat itu telah dirusak oleh perang saudara.

Masyarakat internasional memainkan peran utama atas terciptanya Sudan Selatan, dan memberikan banyak pengaruh sejak kemerdekaan pada 2011.

PBB dan AS telah menuntut agar pertempuran pada bulan Juli segera diakhiri, panggilan datang dari kelompok regional Afrika Timur yang menengahi kesepakatan damai baru-baru ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini