Sukses

Nama Mendiang Putranya Dicatut Donald Trump, Ibu Dubes AS Marah

Donald Trump kerap menjadikan serangan Benghazi sebagai amunisi untuk melawan pesaingnya, Hillary Clinton.

Liputan6.com, Washington, DC - Mary Commanday, ibu dari Duta Besar Amerika Serikat (AS), J. Christopher Stevens yang tewas saat serangan di Benghazi, Libya, pada 2012 lalu meminta agar calon presiden asal Partai Republik AS, Donald Trump berhenti 'memanfaatkan' nama mendiang sang putra dalam setiap kampanyenya.

Hal itu disampaikan Mary dalam surat pendek yang ia layangkan kepada editor The New York Times.

"Sebagai ibu dari Dubes J. Christopher Stevens, saya menolak nama dan peristiwa kematiannya di Benghazi, Libya digunakan dalam kampanye Donald Trump dan Partai Republik," ujar ibu dari Dubes Chris itu.

"Saya tahu pasti bahwa Chris tidak ingin nama atau kenangan tentangnya dikaitkan. Saya berharap bahwa itu akan segera dan permanen berhenti dimanfaatkan secara oportunis dan sinis dalam kampanyenya," tulis Mary dalam suratnya seperti dikutip CNN, Senin (25/7/2016).

Serangan Benghazi kerap disinggung dalam Konvensi Nasional Partai Republik yang dibuka pada Senin 18 Juli dan berakhir pada Jumat 22 Juli lalu di Cleveland, Ohio. Kubu Trump menyebut Hillary tak layak menjadi presiden karena bertanggung jawab atas insiden itu.

Benghazi 2012

Tanggal 11 September 2012 mungkin akan menjadi salah satu memori paling kelam bagi Negeri Paman Sam. Pasalnya, tepat pada hari itu sekelompok pasukan bersenjata menyerbu kompleks diplomatik AS di Benghazi.

Hillary ketika itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri di periode pertama pemerintahan Barack Obama. Serangan itu menewaskan Dubes Stevens dan tiga staf diplomatik lainnya yakni, Sean Smith, Glen Doherty, dan Tyrone Woods.

Kaum konservatif menyalahkan Hillary dan Obama atas tragedi tersebut. Mereka menyebut pemerintah AS telah gagal memberikan pengamanan bagi kamp diplomatiknya di Libya.

Pada 16 Oktober 2012, Hillary merilis pernyataan bahwa ia bertanggung jawab penuh atas serangan terhadap konsulat AS di Benghazi.

Tak secara spesifik memang, namun Hillary menegaskan bertanggung jawab atas keamanan para pegawai Kementerian Luar Negeri yang bertugas di korps diplomatik di seluruh dunia.

Kala itu, ia juga mengaku Obama dan Wapres Joe Biden tak tahu menahu perihal keputusan yang diambil personel keamanan.

Selang beberapa hari kemudian, tepatnya 17 Oktober 2012, giliran Presiden Obama yang mengatakan dirinya bertanggung jawab atas apa yang terjadi di Libya.

"Para diplomat, duta besar, mereka perwakilan saya. Saya bertanggung jawab atas mereka," ujar Obama dalam debat presiden melawan pesaingnya dari Partai Republik, Mitt Romney kala itu.

Belakangan, insiden penyerangan Benghazi kembali 'dihangatkan' oleh Trump. Dalam berbagai kesempatan, ia menyerang rivalnya, Hillary lewat kasus itu.

"Setelah Hillary gagal mengintervensi di Libya, kelompok teroris di Benghazi menyerang konsulat kita dan membunuh dubes serta tiga warga AS yang pemberani. Namun dibanding mengambil alih situasi saat itu, Hillary Clinton memutuskan untuk pulang ke rumah dan tidur! Luar biasa," ungkap Trump dalam kampanyenya pada 27 April lalu.

Untuk semakin menguatkan amunisinya dalam menyerang Hillary, miliarder AS itu mengajak Pat Smith yang merupakan ibu dari Sean Smith, pejabat manajemen informasi layanan luar negeri AS yang juga merupakan salah satu korban tewas dalam serangan Benghazi.

Berbicara di panggung Konvensi Nasional Partai Republik, Pat mengatakan ia menyalahkan Hillary atas kematian putranya.

"Saya menyalahkan Hillary secara pribadi atas kematian putra saya. Secara pribadi," tegas Pat.

Pat juga menuding Hillary berbohong karena mengatakan serangan itu merupakan tindakan spontan bukannya terencana.

"Bagaimana dia bisa memperlakukan saya seperti itu? Bagaimana dia bisa melakukan itu kepada keluarga Amerika lainnya. Hillary harus dipenjara," ujar Pat.

Stevens yang fasih berbahasa Arab dan Perancis adalah Dubes AS pertama yang terbunuh ketika bertugas sejak 1979. Sebelumnya terdapat Dubes Adolph Dubs yang tewas di Afganistan dalam upaya pembebasannya dari penculikan yang terjadi pada 1979.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini