Sukses

Kudeta Bangkitkan Kembali Hukuman Mati di Turki?

Turki berada di persimpangan jalan terkait isu penerapan kembali hukuman mati yang telah dihapus negara itu sejak 2004 silam.

Liputan6.com, London - Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengatakan jika rakyat menginginkan dan parlemen menyetujui, ia siap untuk menerapkan kembali hukuman mati.

Pernyataan itu disampaikan Erdogan di hadapan para pendukungnya yang berkumpul di luar kediamannya di Istanbul terkait kudeta yang terjadi pada Jumat 15 Juli lalu. Mereka menuntut dilakukannya hukuman mati bagi siapa saja yang terlibat dalam peristiwa itu.

Dalam kesempatan yang sama Erdogan juga menegaskan, Turki adalah negara demokrasi yang dijalankan oleh aturan hukum. Namun menurutnya, 'tuntutan rakyat tidak bisa dikesampingkan'.

"Apakah hari ini tidak ada hukuman mati di Amerika Serikat (AS)? Di Rusia? Di China? Di beberapa negara lain di dunia? Hanya negara-negara Uni Eropa yang tidak menerapkan hukuman mati," ujar Presiden Erdogan seperti dikutip BBC, Selasa (19/7/2016).

Peringatan keras datang dari para pejabat Uni Eropa (UE) terkait isu ini. Mereka memperingatkan, berbagai upaya Turki untuk bergabung dengan UE akan berakhir sia-sia jika hukuman mati diterapkan kembali.

"Penerapan hukuman mati berarti penangguhan segera atas perundingan. Tidak ada negara yang dapat menjadi anggota UE jika memberlakukan hukuman itu dan Turki adalah bagian penting dari Dewan Eropa di mana terikat dengan Konvensi Eropa tentang HAM, yang posisinya sangat jelas terkait hukuman mati," tegas Juru bicara pemerintah Jerman, Steffen Seibert.

Sejak kegagalan kudeta militer, Erdogan memang telah melakukan pengawasan ketat di setiap instansi pemerintahan demi pembersihan terhadap 'virus' pembangkangan. Hasilnya seperti dikutip Telegraph, 6.000 pasukan militer ditahan termasuk di antaranya ratusan jenderal dan para hakim yang diduga terlibat dalam aksi melawan rezim Erdogan itu.

Di luar jumlah itu, 29 pejabat setingkat gubernur juga dipecat dan total jumlah mereka yang ditahan diperkirakan mencapai lebih dari 8.000 orang. Negara-negara Barat yang menjadi sekutu Turki menyatakan keprihatinan dan mendesak Presiden Erdogan untuk merespons kudeta militer itu dengan cara yang terukur.

Turki diketahui telah menghapuskan hukuman mati pada 2002 lalu. Namun baru pada 2004, negara itu secara resmi menghapus hukuman mati sebagai bagian dari serangkaian reformasi HAM yang dilakukan demi memenuhi syarat menjadi anggota UE.

Dalang di Balik Kudeta Militer

Hingga saat ini alasan dan dalang di balik kudeta militer yang telah menewaskan 232 orang dan melukai 1.400 itu masih menjadi tanda tanya besar. Selentingan beredar, peristiwa itu 'diciptakan' oleh Erdogan dengan tujuan menyerang lawan-lawan politiknya.

Namun sang presiden telah membantah hal tersebut dan menyebutnya sebagai fitnah.

"Saya ingin tahu tindakan keras seperti apa yang tampaknya telah dilakukan oleh Erdogan? Itu fitnah. Jika Tayyip Erdogan adalah seorang tokoh penindas, ia tidak akan memenangkan 52 % suara dalam pemilu presiden," ujar Erdogan pada Senin 18 Juli kemarin.

Erdogan selama ini menuding, ulama asal Turki Fethullah Gulen yang berdiam di Pennsylvania, Amerika Serikat (AS) sebagai aktor utama kudeta militer. Sang presiden pun mendesak AS untuk mengekstradisi Gulen dengan mengatakan, 'tidak ada kewajiban untuk menjaga teroris seperti dia'.

Sementara itu Menteri Luar Negeri AS, John Kerry mengatakan Turki perlu menunjukkan 'bukti bukan tuduhan' semata terhadap Gulen. Ulama berusia 75 tahun itu sebelumnya telah membantah keras dirinya merupakan otak di balik kudeta militer.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.