Sukses

Alasan 'Mengerikan' di Balik Penyerangan Bandara Istanbul

Salah satu alasan para penyerang bom Turki membuat pemerintah kawasan wajib waspada.

Liputan6.com, Istanbul - Pemerintah Turki menyatakan bahwa ketiga pria yang melakukan serangan di bandara Istanbul berasal dari Rusia, Kirgizstan, dan Uzbekistan

Saeed Mazhaev, mantan militan ISIS yang berasal dari wilayah Chechnya, Rusia, masih berusia belasan tahun saat perang Suriah pecah pada 2011. Ia belum pernah melihat ruang bagian dalam sebuah bandara, apalagi bagian dalam sebuah kamp pelatihan teroris saat ia memutuskan untuk menjadi petarung sukarelawan dalam perang tersebut.

Dari jaringan internet, ia menemukan komunitas luas dari muslim berbahasa Rusia yang berbagi video viral dari medan tempur di Suriah, termasuk video keji pemenggalan, peledakan, teroris mengacung-acungkan Kalashnikov, dan ajakan untuk bergabung dengan mereka. "Setelah menonton banyak video semacam itu, saya semakin mantap," kata Saeed. "Saya harus pergi, harus membantu."

Pada saat itu, ribuan pria muda dari negara-negara bekas Uni Soviet berbondong-bondong memasuki Suriah. Kebanyakan dari wilayah berpenduduk mayoritas muslim di selatan Rusia dan bekas negara bagian komunis di Asia Tengah, seperti Uzbekistan, Kirgizstan, dan Kazakhstan.

Selama beberapa tahun terakhir, Saeed telah menjadi semacam anti-perekrut, memberi ceramah di wilayah sekitar kediamannya tentang bahayanya propaganda ekstremis. Ini adalah usaha yang berharga, tapi tak akan berdampak pada ribuan penutur bahasa Rusia yang telah bertempur di Suriah.

Seorang pria mengamati kaca jendela yang retak di Bandara Ataturk, Istanbul, Turki, Rabu (29/6). Aktivitas di bandara internasional tersebut berangsur normal pasca ledakan bom bunuh diri yang menewaskan 42 korban jiwa. (REUTERS/Goran Tomasevic)

"Mereka melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari gerakan teroris global," kata Saeed. Dan target mereka, juga menjadi semakin mendunia."

Pada beberapa tahun terakhir, sukarelawan dari wilayah-wilayah ini telah semakin menonjol sebagai petarung yang paling buas dan menjadi komandan tingkat atas dari pasukan teroris yang bernama ISIS. Dan menurut pejabat Turki, para militan penutur bahasa Rusia ini mungkin telah mulai melakukan misi di luar apa yang mereka klaim sebagai kekhalifahan di Suriah dan Irak.

Koran Turki Yeni Safak, yang sering menjadi juru bicara dari pemerintah yang berkuasa, melaporkan bahwa dalang yang dicurigai berada di balik pemboman adalah warga negara Rusia bernama Akhmad Chataev. Dalam daftar pengawasan teroris, PBB telah mengidentifikasi Akhmad yang merupakan etnis Chechen,sebagai komandan ISIS yang bertugas melatih militan yang berbahasa Rusia.

Polisi di Rusia pada hari Kamis mengatakan bahwa mereka sedang menyelidiki laporan tersebut. Namun berita ini tidak mengejutkan pejabat penanggulangan terorisme seperti Mayor Jenderal Apti Alaudinov, wakil menteri dalam negeri di Chechnya. Di republik mungil yang berada di wilayah pegunungan itu, ekstremitas dalam memeluk Islam telah lama menjadi "bentuk protes," ungkap Apti.

"Mereka seperti bocah -bocah punk-rock yang pernah kita lihat. Kecuali, dalam hal ini, bentuk protesnya mengarahkan mereka langsung ke Suriah."

Sebabnya bervariasi, tergantung negaranya, namun di Rusia, gerakan Islam bawah tanah berakar dari dua perang kemerdekaan Chechnya yang terjadi pada tahun 1990-an.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Menguntungkan Rusia?

 

Setelah Rusia akhirnya mengambil alih kendali di wilayah itu pada tahun 2000, kaum separatis di Chechnya mengadopsi cabang Islam yang semakin radikal dan mulai mengobarkan perang gerilya melawan otoritas Rusia dan pemerintah lokal kaki tangan mereka.

Muslim yang taat sering kali direkrut untuk bergabung dengan gerakan pemberontak. Dan dari persembunyian mereka di pegunungan dan hutan Rusia utara, mereka mengorganisasikan serangan teroris secara reguler di dalam wilayah Rusia, termasuk serangkaian serangan bom bunuh diri yang menyerang Moskow, terakhir kali pada tahun 2011.

"Namun kini, arus pemberontak ke pegunungan di sini telah berhenti," ungkap Apti. Pasukan keamanan Rusia telah membunuh atau malah merekrut sebagian besar pemimpin tertinggi mereka, yang mulai kehilangan tujuan dari yang semula ingin mendirikan kekhalifahan Islam di pegunungan Rusia Selatan. "Tidak ada lagi yang pergi ke sana dalam beberapa tahun terakhir."

Mereka malahan pergi ke luar negeri untuk bergabung dengan ISIS. Terhitung pada bulan Maret 2016, sekitar 3.400 warga Rusia telah bertempur bersama grup teroris di Suriah itu dan di beberapa bagian Timur Tengah dan Afrika Utara, menurut pasukan polisi anti-terorisme Rusia. Setidaknya 2.500 lagi pasukan tempur ISIS telah datang dari negara-negara bekas Uni Soviet di Asia Tengah.

Kerabat salah satu korban ledakan di Istanbul menangis di depan kamar mayat di Istanbul, Turki, Rabu (29/6). (REUTERS / Osman Orsal)

Di sisi lain, eksodus ini merupakan berkah bagi Rusia. Saat masuknya pejuang asing ke Suriah menjadi lebih intensif pada tahun 2013, jumlah serangan teroris di dalam Rusia menurun hingga 30%. Pada tahun berikutnya, saat ISIS mendeklarasikan dibentuknya kekhalifahan di sebagian Irak dan Suriah, jumlah serangan teroris di Rusia menurun hingga setengahnya, menurut FSB, layanan keamanan milik pemerintah Rusia.

Mereka bukanlah etnik Chenchen yang pertama melakukan serangan. Sebelum terbunuh dalam serangan udara AS pada bulan Maret tahun lalu, komandan militer tingkat atas ISIS adalah teroris berbahasa Rusia bernama Tarkhan Batirashvili, alias Omar the Chenchen. Seperti halnya Akhmad Chataev, yang kini dilaporkan pemerintah Turki sebagai tersangka yang mengorganisasi pemboman pada hari Selasa lalu di bandara Istanbul. Tarkhan berasal dari Republik Georgia, negara lepasan dari Uni Soviet, yang berada di perbatasan selatan Rusia.

Keduanya tinggal bersama keluarga mereka selama bertahun-tahun di Pankisi Gorge, Georgia, yang digunakan sebagai benteng sementara dan jalur suplai untuk pemberontak Chenchen selama perang mereka melawan Rusia pada tahun 1990-an. Pengalaman militer yang mereka dapatkan melalui konflik dengan bekas Uni Soviet itu menjadikan mereka sangar berharga bagi para pemimpin di ISIS.

Namun sebelum pemboman di Istanbul, mereka dikenal sering melakukan misi bom bunuh diri yang jauh dari wilayah yang dikuasai ISIS. Kini, hal itu mungkin telah berubah. Kampanye AS yang mengebomi wilayah-wilayah yang dikuasai dengan kuat oleh ISIS, yang memundurkan wilayah kekuasaan grup teror ini di Irak dan Suriah, tampaknya telah mendorong para teroris untuk melakukan pemboman lebih jauh lagi, termasuk serangan baru-baru ini di Paris dan Brussel.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.