Sukses

Peringatan Konten!!

Artikel ini tidak disarankan untuk Anda yang masih berusia di bawah

18 Tahun

LanjutkanStop di Sini

Kontroversi Pelajaran 'Cara' Berhubungan Seks Bagi Pencari Suaka

Untuk membiasakan kaum pendatang baru ke Jerman, pemerintah merilis laman cara berhubungan seks.

Liputan6.com, Berlin - Membanjirnya pencari suaka dari Timur Tengah, membuat pemerintah Jerman melakukan berbagai upaya untuk memudahkan integrasi para pendatang baru itu dengan rumah baru mereka. Selain bahasa, ada sejumlah kebiasaan lain yang dapat mengguncang para pendatang baru itu, antara lain adalah seks.

Jerman dikenal dengan negara yang mudah menerima orang telanjang di tempat umum. Pun dengan hal-hal lainnya terkait dengan hubungan seksual.

Dengan demikian, pemerintah merasa 'wajib' mendistribusikan kebiasaan mereka itu agar mudah diterima bagi kaum pencari suaka yang mayoritas berasal dari Suriah, Afghanistan dan Irak. Pusat Pendidikan Kesehatan Jerman baru-baru ini menerbitkan situ pendidikan seksual bagi para migran dewasa. Laman itu dilengkapi dengan diagram dan gambar yang jelas. Di dalamnya dijelaskan segala hal mulai dari hubungan seks pertama kali hingga berbagai macam gaya berhubungan seks.

Dikutip dari Washington Post pada Senin (16/5/2016), setelah merebaknya serangan seksual yang diduga dilakukan oleh tersangka para pencari suaka pada Tahun Baru lalu, pemerintah Jerman bertekad 'mendidik' para migran, terutama kaum prianya, tentang nilai-nilai seks di Barat.

Sebagai contoh, kolam-kolam renang umum di kota Munich menempelkan sejumlah kartun yang berisi peringatan kepada para pencari suaka itu untuk tidak meraba-raba wanita berbikini.

Sebuah papan larangan di kolam renang kota Munich, Jerman, berisi larangan meraba-raba wanita berbikini. (Sumber sputniknews.com)

Di Provinsi Bavaria, anggaran pemerintah dipergunakan untuk mendanai kelas-kelas pendidikaan seks termasuk pelajaran untuk kaum pria migran tentang cara yang benar dalam melakukan pendekatan kepada wanita-wanita Jerman.

Semua aturan itu bersifat tegas. Sebaliknya, situs web yang baru diluncurkan tersebut lebih lunak sebagai bimbingan tentang kenikmatan seksual bagi para pencari suaka, baik yang masih sendiri maupun yang sudah menikah.

Tapi tidak semuanya berisi urusan 'senang-senang', karena di dalamnya ada juga penjelasan mengenai penyakit menular seksual dan keluarga berencana. Ada juga penjelasan perlunya menghormati kaum gay dan lesbian.

Walaupun gambar-gambarnya memang sopan supaya cocok dengan pendidikan kesehatan, situs itu tidak basa-basi dalam mengajari tentang memberikan dan menerima kenikmatan seksual.

Ada gambar tentang hubungan seksual yang disertai dengan penjelasan untuk "berganti-ganti kecepatan, irama, dan keganasan" dan kiat khusus bahwa itu semua bisa dinikmati sambil "berbaring, duduk, berdiri, maupun berjongkok."

Bunyinya begini, "Misalnya seorang pria bisa berada di atas sang wanita, wanita di atas sang pria, atau sang pria berada di belakang sang wanita."

Situs itu kemudian menjelajah lebih dalam soal kenikmatan seksual, termasuk penjelasan tanpa basa-basi tentang beragam cara melakukan seks oral, seks anal, dan masturbasi.

Situs seperti itu dapat mengundang kegaduhan bahkan untuk negara seperti AS. Tapi, ketelanjangan di taman-taman dan pantai-pantai umum merupakan hal lazim di Jerman. Obrolan tentang seks juga dilakukan tanpa malu-malu.

Pro dan Kontra

Namun demikian, keberadaan situs tersebut bukannya tanpa tanggapan. Michael Bramer, seorang seniman lepas, dalam Twitternya menulis, "Apa yang dilakukan pemerintah dengan uang kita?"

Namun, tak sedikit yang membela situs itu secara keseluruhan sebagai alat pendidikan yang bermanfaat dan berharap agar ditujukan secara lebih meluas kepada umum. Menurut mereka yang membelanya, jangan menganggap seakan-akan kaum pendatang Timur Tengah tidak mengerti apapun tentang risiko dan kenikmatan seks.

Sejumlah pihak berpendapat sikap liberal Jerman terhadap seks harus dihormati, termasuk oleh para pendatang baru yang konservatif secara keagamaan dan tidak terbiasa dengan keterbukaan itu. Memang bukan urusan yang mudah.

Menurut Heinz-Jurgen Voss, seorang ilmuwan seks di Universitas Merseburgm, anggapan bahwa warga Suriah dan Irak kurang mengerti tentang kenikmatan seks dibandingkan dengan warga Jerman merupakan bentuk 'rasisme'.

"Memang penting untuk menjelaskan soal seksualitas yang terbuka dan bebas ini guna memperjuangkannya. Tapi itu bukanlah hal yang bisa dipaksakan oleh negara. Hal itu perlu negosiasi," kata Voss.

Dengan maraknya serangan seksual yang dilakukan oleh para tersangka, termasuk kaum pencari suaka, di Cologne, situs ini kemudian malah menjadi sasaran bagi suara-suara anti pendatang.

"Pria-pria ini sebenarnya mengetahui apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, tapi mereka tidak peduli atas aturan dan budaya negeri ini yang memang tidak pernah mereka pedulikan sejak awal," kata seorang blogger konservatif bernama Anabel Schunke.

"Sungguh naif kalau menyangka bahwa pengenalan dan informasi budaya sejak masa kanak-kanak dapat begitu saja diganti dengan gambar-gambar indah dan kelas-kelas integrasi," lanjutnya.

Kamp pengungsi migran Timur Tengah di bekas bandara Tempelhof, Jerman. (Sumber Reuters via konbini.com)

Nuri Koseli, juru bicara Islamic Relief di Jerman, mengatakan ia tidak secara khusus menemukan sesuatu yang tidak sopan dalam situs web itu, namun pria itu mempertanyakan keperluannya. Menurutnya, pengajaran secara eksplisit seperti itu dapat membuat frustrasi bagi sejumlah pengungsi yang terjebak di dalam kamp-kamp pengungsi, namun dengan akses terbatas kepada pasangan-pasangan seksual.

"Tentu saja seks merupakan kebutuhan manusia, tapi orang punya masalah-masalah lebih besar," katanya. "Kebanyakan dari mereka tinggal di dalam penampungan-penampungan darurat untuk waktu lama, tanpa akses ke ruang-ruang pribadi. Mengutak-atik urusan tersebut dalam situasi demikian malah dapat merusak."

Bagi kaum pencari yang jomblo, situs itu juga menjelaskan tentang caranya melampiaskan energi seksual. Menurut situs itu, tidak masalah kalau seseorang menyukai pornografi.

Situs tersebut mulai tampil sejak Maret lalu dan dapat diakses oleh siapapun. Christine Winkelmann, kepala pencegahan HIV dan penyakit menular seksual untuk Pusat Pendidikan Kesehatan, mengatakan, "Sama halnya seperti semua konten yang ditemukan secara daring, seseorang bisa memutuskan sendiri apa yang ingin mereka lihat atau tidak lihat."

"Kami percaya sepenuhnya kepada para pakar kami yang menyebarkan informasi itu, bahwa mereka sanggup mempertimbangkan kepada siapa situs itu harus ditujukan," imbuhnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini