Sukses

Peringatan Konten!!

Artikel ini tidak disarankan untuk Anda yang masih berusia di bawah

18 Tahun

LanjutkanStop di Sini

Fenomena Perbudakan Seks Lelaki 'Cantik' di Afghanistan

Setelah pesta usai, tarianpun selesai, dan datanglah kengerian itu. Bocah-bocah lelaki itu diedarkan di antara pria-pria yang menonton.

Liputan6.com, Kabul - Afghanistan dikenal sebagai salah satu negara yang religius. Siapa sangka, ada sisi gelap tradisi yang kerap disembunyikan dari dunia luar. Tradisi yang dimaksud melibatkan bocah lelaki yang menari menggunakan pakaian wanita ketika menari di hadapan sejumlah penonton.

Para bocah lelaki ini, dikenal sebagai ‘bacha bazi’ yang berarti ‘mainan bocah lelaki’, juga mengalami penistaan seksual oleh kaum pria setelah usainya pesta. Padahal, masih ada bocah yang berusia 10 tahun. 

Dalam tulisan Daily Mail awal tahun ini yang dikutip Senin (2/5/2016), dikisahkan tentang pengalaman bocah lelaki bernama Shukur yang diambil dari keluarganya dan dipaksa menjadi penari. Perlu waktu sekitar 5 tahun baginya untuk bisa membebaskan diri.

Kemiskinan di Afghanistan menjadi salah satu alasan maraknya bacha bazi dalam 15 tahun terakhir. Para pemangsa berkeliling mencari bocah-bocah ‘cantik’ dan membujuk keluarganya dengan janji pekerjaan ataupun pendidikan.

Ternyata, bocah-bocah lelaki itu malah dilatih menjadi penari, dipaksa tampil dengan pakaian wanita di hadapan sejumlah pria berumur, lengkap dengan lonceng-lonceng pada pakaian terusan mereka, dan make up di wajah.

Setelah pesta usai, tarianpun selesai, dan datanglah kengerian itu. Bocah-bocah lelaki itu diedarkan di antara pria-pria yang menonton.(Sumber Barat Ali Bator)

Mereka menari menurut irama lagu berisi syair tentang apa yang sedang berlangsung. Suatu dokumenter tahun 2009 bertajuk ‘Bocah Lelaki Penari Afghanistan’, menuliskan isi syair lagu demikian, “Ia menyentuh bocah itu dengan pakaian katunnya. Di manakah kau tinggal, supaya aku bisa berkenalan dengan ayahmu.”

Setelah pesta usai, tarianpun selesai, dan datanglah kengerian itu. Bocah-bocah lelaki itu diedarkan di antara pria-pria yang menonton, dan dibawa ke kamar-kamar hotel sehingga mengalami penistaan seksual.

Aib

Barat Ali Bator, seorang jurufoto yang meluangkan waktu berbulan-bulan supaya dipercaya merekam kehidupan bocah-bocah itu, berkata, “Bocah-bocah lelaki itu tidak mendapatkan apapun dalam pesta.”

“Tapi mereka hidup seakan mereka memiliki hubungan dengan majikan mereka, jadi sang majikan merawat mereka, memberi tempat tinggal, membelikan makanan dan barang-barang. Mereka melakukan seks dengan majikan mereka dan kemudian mereka dinistakan oleh orang-orang lain pada saat pesta.”

Dr. Soraya Sobhrang, anggota Komisi Independen HAM Afghanistan dan pimpinan penyidikan terhadap praktik ini, mengatakan, “Praktik ini, yang dikenal sebagai ‘bacha bazi’, sungguh memalukan.”

Di negara-negara lain, hal ini dipandang sebagai paedofilia. Tapi, di Afghanistan, para tersangkanya malah dilindungi polisi yang takut mengganggu para laskar perang dan pebisnis yang kuat.

“Seorang pimpinan laskar memiliki banyak, mungkin hingga 10 bocah,” kata Dr. Sobhrang kepada MailOnline.

“Bocah-bocah yang cantik maupun jumlahnya telah menjadi perlambang kekuatan. Perlu banyak uang untuk membayar bocah-bocah itu, memberinya makan, membelikan pakaian. Kepemilikan bocah-bocah itu dijadikan lambang kekayaan.”

Lebih dari 40 persen bocah itu berusia antara 13 hingga 15 tahun. Bagi mereka, terpilih sebagai ‘bacha bareesh’, yang artinya 'lelaki tanpa janggut', seakan seperti dijatuhi hukuman seumur hidup dan diasingkan oleh keluarga serta dikucilkan oleh masyarakat. Banyak di antar mereka kemudian terlibat narkoba.

Kata jurufoto Ali Batoor kepada MailOnline, “Saya teringat seorang bocah bernama Faraidoon, yang masih berusia 13 tahun ketika saya temui. Ia sudah dibawa ke dan dimanfaatkan dalam pesta-pesta.”

“Ia mulai menggunakan heroin supaya tabah menghadapinya, tapi masih terus saja dibawa ke pesta-pesta. Ia akhirnya kabur dan berpindah-pindah supaya tidak bisa dilacak. Ia kemudian mengemis di jalanan kota Kabul. Kalau masih hidup, usianya sudah 18 sekarang.”

Setelah pesta usai, tarianpun selesai, dan datanglah kengerian itu. Bocah-bocah lelaki itu diedarkan di antara pria-pria yang menonton.(Sumber Barat Ali Bator)

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Cerita Lama

Bachabazi bukanlah fenomena baru di negeri itu, dan sempat dibersihkan oleh oleh Taliban. Dengan runtuhnya Taliban, bacha bazi kembali bermunculan dan cepat diterima lagi. Bahkan petinggi kepolisian pun termasuk yang duduk menonton pertunjukan.

Hubungan homoseksual memang dilarang dalam agama Islam, tapi para penonton itu mengaku ada celah hukum untuk itu. Menurut mereka, mereka tidak mencintai bocah-bocah itu, jadi mereka bukan gay.

Ketika laporan Komisi Independen HAM Afghanistan terbit tahun lalu, dilaporkan bahwa praktik itu masih marak dan meluas seperti dulu. Namun, karena malu-malu mengakuinya, sukar menentukan jumlah pasti kasus tersebut.

“Tidak ada yang tahu berapa banyak bocah lelaki yang terlibat karena hal ini sangat sensitif, sangat rahasia,” kata Dr. Sobhrang. “Mungkin 100, mungkin 500, mungkin 1.000…inilah salah satu tantangannya ketika kami bertemu dengan bocah-bocah itu.”

“Ketika saya menanyainya, mereka mengaku sebagai pemilik karena tidak mau menunjukkan bahwa mereka adalah korban. Tidak ada yang mengaku bahwa mereka adalah bacha bareesh. Mereka enggan membicarakannya."

"Beberapa di antara mereka berusia 18 atau 19 tahun. Jika mereka ingin menikah, tidak boleh ada yang tahu. Tidak ada keluarga yang mau memberikan putri mereka kepada orang-orang ini.”

Ada beberapa bocah yang ditanyai akhirnya mengaku mereka berangan-angan untuk kabur, walaupun ada ancaman kekerasan dan bahkan ancaman pembunuhan. Tapi, mereka tidak tahu harus ke mana. “Bagaimana saya bisa pergi dari tempat ini? Ke mana saya bisa pergi? Saya tidak diterima lagi oleh keluarga dan masyarakat.”

Bocah-bocah ini terjebak dalam dunia mereka sehingga mereka terseret untuk kemudian malah menjadi pemangsa saat mereka sudah terlalu tua untuk menjadi bacha bareesh.

Pada 2007, Ahmad (17) berbicara kepada Reuters, “Saya mencintai majikan saya. Saya senang menari dan berperilaku seperti perempuan dan bermain bersama majikan saya.”

“Setelah saya dewasa, saya akan menjadi seorang pemilik yang memiliki bocah-bocah saya sendiri,” lanjutnya.

“Itulah trauma psikologis,” kata Dr. Sobhrang. “Mereka kira mereka bisa terus menjadi bacha baz. Ia sekarang berusia 20 tahun, ia bisa mencari bocah-bocah lain dalam proses ini. Jadi, berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya.”

Untunglah, telah terbit harapan. Laporan tentang hal ini telah bergema hingga ke tingkat tertinggi di pemerintahan. Kementrian kehakiman dan agama sudah duduk bersama. Untuk pertama kalinya, telah terbit undang-undang yang secara langsung menangani bacha bazi. Polisi mulai melakukan penangkapan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.