Sukses

Kontak dengan Bangsa Eropa Bencana Bagi Penduduk Asli Amerika?

Penelitian genetik mengungkapkan bahwa kontak dengan bangsa Eropa sebagai hal yang buruk bagi leluhur pribumi benua Amerika.

Liputan6.com, Adelaide - Pertanyaan tentang manusia yang pertama kali tiba di Amerika telah menjadi misteri berkepanjangan. Selama puluhan tahun, para peneliti berdebat tentang jalur yang dipakai untuk mencapai Amerika Utara dan kurun waktu penyebaran di benua baru.

Suatu penelitian genetik baru-baru ini melacak populasi purba ini dari pertama kalinya tiba hingga perjumpaan dengan bangsa Eropa. Diduga, pertemuan itu lebih sebagai bencana bagi penduduk asli.

Kata Jon Erlandson, seorang ahli arkeologi di University of Oregon di kota Eugene, “Penelitian ini memperkuat suatu gambaran yang pernah mencuat sebelumnya. Temuan ini juga menantang para ahli arkeologi untuk duduk bersama dengan para ahli genom yang menciptakan sejumlah model bagi kami dan harus diuji.”

Dikutip dari Science Magazine pada Sabtu (2/4/2016), data penelitian ini unik, karena terdiri dari 92 kerangka manusia dan mumi yang kebanyakan berasal dari bagian barat Amerika Selatan.

Orang-orang itu hidup antara 8.600 hingga 500 tahun lalu di kawasan-kawasan yang membentang dari Meksiko hingga Chile.

Suatu tim peneliti mengurutkan genom mitokondria setiap contoh itu, yaitu gen yang ditemukan dalam pembangkit tenaga dalam sel-sel manusia.

Gen mitokondria diturunkan langsung dari ibu kepada keturunannya, sehingga urutan-urutannya dapat menjelaskan garis keturunan matrilineal warga pribumi Amerika hingga ke leluhurnya di Siberia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Napak tilas genetik

Dengan menghitung mutasi acak yang terkumpul dalam populasi-populasi yang sudah bertebaran, para ahli genetik dapat menghitung ke belakang hingga ketemu dengan leluhur bersama bagi dua kelompok populasi yang berbeda.

Ketika cara demikian diterapkan pada 92 mumi dan kerangka yang diteliti, para peneliti mendapati bahwa leluhur orang-orang tersebut pernah terhubung dengan populasi Siberia sekitar 23 ribu tahun lalu.

Setelahnya, suatu kelompok yang terdiri dari 2.000 wanita yang memiliki anak (keseluruhan populasinya berjumlah kira-kira 10 ribu orang) menetap dalam keadaan genetik terputus dari populasi lain selama kira-kira 6.000 tahun.

Hal ini mendukung dugaan behwa para leluhur bangsa awal Amerika ‘terjebak’ selama ribuan tahun di Beringia, yaitu suatu daratan yang dulunya membentang dari Siberia ke Alaska sebelum akhirnya es kutub meleleh dan menutupi daratan itu.

Telaahan DNA penduduk pribumi masa kini menjelaskan bagaimana leluhur warga pribumi benua Amerika menyeberangi daratan dan jembatan es Beringia yang dulunya menghubungkan Chukotka dan Alaska. (Sumber Julie McMahon via Siberian Times)

Kemudian, 16 ribu tahun lalu, populasi membengkak dan sejumlah rumpun menjauh satu sama lain. Para peneliti berpendapat bahwa hal ini mencerminkan masa di mana orang untuk pertama kalinya dapat meninggalkan Beringia menuju benua Amerika yang luas dan kaya akan sumberdaya pendukung perkembangan dan penyebaran populasi secara cepat.

Di suatu masa, “jalan yang ada hanyalah di sepanjang pantai Pasifik”, kata Alan Cooper, seorang ahli biologi evolusioner dari University of Adelaide yang membantu dalam penelitian. “Lapisan esnya masih terlalu tebal sehingga, di suatu titik, tidak mungkin lagi meneruskan perjalanan.”

Jika menggunakan perahu di sepanjang pantai, “maka bisa bergerak lebih cepat,” kata Theodore Schurr, seorang ahli genetik antropologi dari University of Pennsylvania. Ia tidak terlibat dalam penelitian.

Cara demikian merupakan penjelasan betapa cepatnya orang menyebar ke selatan. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa Monte Verde di Chile bagian selatan ditinggali sekitar 14.500 tahun lalu. Kata Cooper, “Perlu 1.500 tahun untuk melingkupi seluruh benua itu.”

Tapi kejadian berikutnya sungguh mengejutkan, yaitu bahwa orang mulai menetap. Selama kurun waktu beberapa ribu tahun, banyak di antara leluhur yang mulai menjadi berbeda satu sama lain.

Artinya, seseorang dari satu kelompok tidak mendapatkan bayi dari kelompok lain, setidaknya ibu-ibu merekalah yang tidak ke mana-mana lagi, jika dipandang dari penelusuran DNA mitokondria. Tim ini mengungkapkan ada 84 rumpun genetik terpisah yang terwakili dalam 92 contoh penelitian ini, demikian dilaporkan dalam jurnal Science Advances.

3 dari 3 halaman

Kontak dengan bangsa Eropa

Struktur ini tidak berubah hingga datangnya bencana, yaitu kontak dengan bangsa Eropa. Para peneliti tidak perlu melakukan model penelitian yang rumit untuk memahami betapa parahnya keruntuhan populasi yang terjadi.

Tidak ada satupun di antara 84 rumpun yang terungkap itu dapat ditelusuri hingga kontaknya di masa lalu karena tidak ada satupun orang yang masih hidup sekarang menjadi salah satu bagian dari 84 rumpun itu.

Bastien Llamas, seorang ahli genetik yang juga berasal dari University of Adelaide sekaligus penulis pertama penelitian itu, mengatakan, “Ketika bangsa Eropa datang, sejumlah populasi itu dimusnahkan seluruhnya.”

Tentu saja populasi masa kini di Amerika Selatan belum disampel secara sangat baik, jadi para peneliti masih mungkin menemukan keturunan dari rumpun yang diduga lenyap itu kalau saja mereka mengumpulkan lebih banyak lagi contoh genetik dari orang yang masih hidup sekarang.

Kata Ripan Malhi, ahli genetik dari University of Illinois, Urbana-Champaign yang tidak ikut dalam penelitian, “Tapi saya menduga itu belum tentu benar, yaitu bahwa ada pengurangan besar-besaran suatu populasi dan lenyapnya keragaman genom setelah terjadinya kontak.”

Penyebaran bangsa Eropa ke benua Amerika. (Sumber Mr. Tyler's Lessons)

Llamas paham bahwa timnya belum memiliki gambaran seutuhnya tentang keragaman genetik di benua Amerika. Dengan DNA mitokondria, “kita hanya melihat sebagian dari kisahnya’” yaitu garis keturunan ibu ke anak.

Schurr sepakat dengan itu, katanya, “Kita tidak melihat apa yang terjadi dengan kaum pria, kita bahkan tidak melihat semuanya yang terjadi pada kaum wanita, tapi hanya yang memiliki anak.”

Namun begitu, dugaan tim ini cukup sejalan dengan bukti arkeologi dan penelitian genomik sebelumnya. Dengan demikian, para ilmuwan menduga pandangan sempit dari DNA mitokondria ini cukup tepat.

“Tulisan-tulisan yang ada sekarang berisi banyak contoh di mana model demografi yang ditelaah menggunakan DNA mitokondria kemudian diperkuat oleh telaah genomik skala besar,” kata Antonio Salas, ahli genetik manusia di University of Santiago de Compostela di Spanyol yang juga meneliti genom mitokondria leluhur warga Amerika Selatan.

Cooper dan Llamas sudah memiliki beberapa genom lengkap dan berharap melanjutkan mengurutkan contoh unik yang mereka miliki.

Tapi, untuk mengerti seluruhnya dampak kontak dengan bangsa Eropa dan keadaan sesudahnya, Malhi mengatakan bahwa para ilmuwan harus melihat garis genetik mana yang kemudian bertahan.

Ini berarti mengambil lebih banyak contoh dari orang-orang yang masih hidup dan melakukan penelitian berarti tentang sejarah mereka dan dapat dijangkau.

Lanjut Malhi, “Seburuk-buruknya, kita malah membangun peta genetik dan sejarah pribumi benua Amerika tanpa keterlibatan populasi pribumi yang masih hidup.”

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.