Sukses

Gangguan Ini Sebabkan Mati Rasa Akan Kenikmatan Hidup

Ada sejumlah gejala yang menunjukkan pengidap depresi. Salah satunya adalah anhedonia, keadaan 'mati rasa' terhadap kenikmatan hidup.

Liputan6.com, Stanford - Mungkin, Anda pernah menemukan sesuatu yang awalnya dianggap menyenangkan, namun seiring waktu keigiatan itu menjadi sangat membosankan.

Jangan cemas, itu merupakan hal yang wajar , minat dan kesenangan seseorang bisa berubah-ubah seiring waktu. Namun jika sudah berada dalam tingkatan yang ekstrem, dan tidak ada kegiatan yang Anda anggap menyenangkan lagi, ini merupakan gejala depresi. Kondisi medis ini disebut anhedonia.

Menurut Science Alert, melalui penelitian yang diterbitkan 31 Desember 2015 di jurnal Science, ilmuwan melakukan penelitian yang menstimulasi otak tikus untuk menghadirkan anhedodia. Mencari penjelasan bagaimana fenomena ini bisa muncul.

Hasil ini diharapkan dapat membantu dan merawat penderita depresi dan gangguan suasana hati lainnya.

Anhedonia, dalam bahasa Yunani berarti 'tiada kesenangan'. Gejala dari berbagai gangguan psikis, termasuk depresi dan skizofrenia. Normalnya, ketika melakukan hal menyenangkan, saraf memberikan sinyal untuk mengalirkan zat dopamine ke otak pusat kenikmatan dan kesenangan yang disebut striatum.

Riset sebelumnya menunjukkan bahwa anhedonia kemungkinan memiliki kaitan dengan aktifitas otak bawah yang disebut medial prefrontal cortex (mPFC), berfungsi sebagai konduktor dari perasaan senang dan nikmat.

Namun, cara kerjanya belum diketahui secara jelas.

Depresi adalah salah satu kondisi mental yang banyak dialami oleh para komedian, dan sayangnya tak jarang berujung pada kematian.

Dalam penyelidikan lanjutan, ahli saraf Stanford, Emily Ferenczi dan kolega-nya, menggunakan pencitraan otak dan teknik stimulasi dengan merangsang anhedonia pada tikus.

Awalnya, mereka menstimulasi saraf dopanime pada otak tengah tikus-- hingga dopamine menunjukkan efeknya-- dengan menyinari sel saraf yang sensitif terhadap cahaya, area kesenangan (striatum) kemudian diukur oleh functional magnetic resonance imaging (fMRI), teknik mendeteksi aliran darah ke otak.

Mereka kemudian menstimulasi sel saraf neuron di mPFC tikus, dan menemukan penurunan aktifitas pada striatum. Dalam satu eksperimen, stimulasi itu membuat si hewan kehilangan hasrat mereka untuk minum air gula, yang umumnya disukai ketimbang air biasa.

Dalam eksperimen lainnya, menstimulasi mPFC menghilangkan rasa ingin bermain tikus ketika dipertemukan dengan hewan pengerat yang lebih muda.

Pada akhirnya, stimulasi mPFC memperkuat koneksi dengan area lainnya di otak. Sementara koneksi pada beberapa bagian melemah--ada kaitannya dengan depresi dan skizofrenia, dilaporkan periset dalam studi.

Hasilnya menunjukkan, bahwa anhedonia efeknya melalui mPFC, mengendalikan pelepasan dopamine pada bagian otak yang lebih luas. 

Penemuan tersebut sesuai dengan studi sebelumnya mengenai anhedonia.

Melalui penelitian ringan pada tahun 2003 di jurnal Neuroreport, periset memindai otak 14 orang wanita-- tujuh dari mereka didiagnosa depresi parah, dan tujuh lainnya memiliki psikis yang sehat--sembari menunjukkan pada mereka gambar yang 'positif' dan 'netral'.

Dibandingkan dengan subjek sehat, para wanita depresi menunjukkan aktifitas yang lebih rendah dikenakan stimulasi mPFC.

Ilmuwan sukses  merawat depresi dengan menargetkan area dengan stimulasi otak mendalam, teknik yang meliputi aliran listrik jumlah kecil pada sel otak.

Studi tahun 2005 di jurnal Neuron menemukan bahwa empat dari pasien dengan depresi yang menerima stimulasi di mPFC merasakan beban mereka lebih ringan.

Jika dipadukan, penelitian ini mengungkapkan bagaimana kesalahan bisa terjadi di dalam otak, yang menghilangkan kesenangan dalam hidup, dan menunjuk pada cara yang mungkin untuk mengatasinya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.