Sukses

4-1-1946: Kisah Sukarno Pindah Ibu Kota Kelabui Belanda

Perpindahan ibu kota harus dilakukan akibat kondisi politik yang tidak memungkinkan untuk mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota.

Liputan6.com, Jakarta - Ir Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sejak itu, Nusantara merdeka dari penjajahan. Namun penindasan setelah itu belum berakhir. Belanda mencoba kembali menjajah. Berbagai cara dilakukan Belanda untuk melancarkan kembali pendudukan wilayah termasuk menangkap Sukarno-Hatta.

Pada 4 Januari 1946, Sukarno terpaksa memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Hal ini dilakukan setelah Belanda membabi buta mencoba menyerang siapa saja yang berada di Jakarta. Pemindahan ibu kota ini berlangsung secara diam-diam.

Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, perpindahan ibu kota ini harus dilakukan akibat kondisi politik yang tidak memungkinkan untuk mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota.

"Ibaratnya seperti bencana alam, nggak ada pilihan. Harus pindah walaupun dalam kondisi apa pun," ucap Asvi, seperti dikutip dari BBC Indonesia.

 


Pemindahan ibu kota ini dilakukan pada malam hari. Sukarno-Hatta beserta rombongan Istana meninggalkan Jakarta menggunakan Kereta Luar Biasa. Agar bisa lolos dari pencarian Belanda, kedua proklamator tersebut memutuskan untuk mematikan lampu kereta.

Seperti dimuat dari buku Bung Karno Panglima Revolusi, Barang yang dibawa pun seadanya. Hanya dua mobil kepresidenan, mereka Buick dan de Soto, yang masuk kereta. Semua ini dilakukan demi mengelabui dan menghindari kecurigaan Belanda.

Kedua pendiri bangsa rela gelap-gelapan dalam perjalanan kereta api. Lampu pada akhirnya baru dihidupkan setelah situasi dianggap aman, yakni ketika KLB memasuki Stasiun Klender.

Rombongan Presiden dan Wakil Presiden pada akhirnya tiba dengan selamat di Stasiun Tugu Yogyakarta pada pagi hari. Yogyakarta menjadi Ibu Kota Indonesia pada 4 Januari 1946 sampai 27 Desember 1949.

Pusat pemerintahan untuk sementara dikendalikan dari Gedung Agung Yogyakarta yang berperan menjadi istana kepresidenan. Namun, kondisi istana presiden di Yogyakarta saat itu sangat jauh dari mencukupi.*

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.