Sukses

'Satpol PP' yang Memicu Pergolakan Arab Spring: Aku Menyesal...

Keputusan Faida Hamdy membuat tukang sayur bernama Mohamed Bouazizi bakar diri. Kerusuhan pun pecah di Tunisia, memicu Arab Spring.

Liputan6.com, Tunis - Lima tahun lalu, Faida Hamdy adalah seorang inspektur pengawas di Sidi Bouzid -- kota padang pasir di Tunisia, semacam Satpol PP di Indonesia. Dalam sebuah operasi pada 7 Desember 2010, ia memutuskan untuk menyita gerobak sayur milik pemuda 26 tahun, Mohamed Bouazizi.

Putus asa karena penopang hidupnya dirampas, Bouazizi nekat membakar dirinya dan akhirnya meninggal dunia pada 2 Januari 2011.

Bouazizi menjadi simbol rakyat Tunisia yang menderita di negeri yang dilanda krisis pangan, lapangan kerja sulit, dan rakyat hidup dalam politik yang tak peduli pada kritik. Sementara, kaum elit hidup mewah.

Kisahnya membangkitkan kemarahan rakyat atas penguasa. Demonstrasi meledak, rakyat turun ke jalan menuntut Ben Ali turun.

Pada 14 Januari 2011, Ben Ali yang tak lagi dipercaya rakyat itu pun diam-diam kabur ke Arab Saudi bersama keluarganya. Membawa serta bongkahan-bongkahan emas kekayaan negara.

Dari Tunisia, pergolakan terjadi di Timur Tengah. Sejumlah pemimpin jatuh dalam 'Arab Spring', di antaranya Husni Mubarak dan Moammar Khadafi.

Sementara dunia memperingati Arab Spring, di Suriah, konflik antara pihak pemberontak dan rezim Bashar Al-assad tak kunjung usai, yang membuka peluang bagi tumbuhnya organisasi teror seperti ISIS. Pun dengan Irak dan Libya yang terus membara.



Fakta itu menghantui Faida Hamdy. "Kadang aku berharap tak pernah melakukannya," kata dia kepada Telegraph, yang dikutip Liputan6.com, Jumat (18/12/2015).

Pascakejadian, Bouazizi dan keluarganya mendadak terkenal, dan pihak rezim yang menjadi sasaran demonstrasi menangkap Hamdy, menjadikannya 'kambing hitam'. Perempuan itu sempat ditahan, namun belakangan dibebaskan setelah diputus tak bersalah oleh pengadilan.

Setelah rezim Presiden Zine el-Abedine Ben Ali jatuh, perhatian media pun beralih ke Mesir, Libya, dan Suriah.

"Terkadang, aku merasa bersalah atas apa yang telah terjadi," kata Hamdy. Suaranya bergetar saat menceritakan trauma yang ia rasakan selama lima tahun belakangan -- yang mengubah Timur Tengah, namun hanya berdampak sedikit pada kotanya, Sidi Bouzeid yang miskin.

"Kadang, aku menyalahkan diriku, ini semua gara-gara aku. Aku membuat sejarah karena aku ada saat kejadian dan tindakanku berkontribusi terhadap apa yang terjadi secara luas. Namun, Tunisia masih tetap menderita."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sama-sama Korban

Kematian Mohammed Bouazizi memicu perlawanan di dunia Arab. Juga menguak fakta adanya korupsi, birokrasi yang mengekang, dan aparat yang represif membuat amarah yang dirasakan kaum muda mengarah pada tindakan ekstrem.

Sejumlah studi menemukan aksi bakar diri atau self-immolation menjadi hal biasa di Tunisia, meliputi 15 persen kasus luka bakar di rumah sakit di negara tersebut. Dalam 6 bulan, 100 warga Tunisia meniru cara Bouazizi. Pun warga di negara Arab lainnya, dari Moroko, Arab Saudi, dan Irak.

Meski Hamdy merasa sedih dengan kemiskinan yang terus terjadi di Tunisia, masih ada kisah sukses di sana. Sudah ada 2 pemilu yang digelar belakangan, di mana partai Islam moderat Ennahda menempati posisi pemenang.

Di sisi lain, perubahan besar dialami keluarga Bouazizi. Ibu dan salah satu saudara perempuannya pindah ke Kanada.

Sementara saudara perempuan lainnya, Samia menetap dan bekerja di Tunis.

Menurut Samia, kematian kakaknya telah dibajak kepentingan politik dan ideologi.  "Kematiannya adalah takdir dan aku menerimanya," kata dia, "Namun, jika ia ada di sini saat ini, ia mungkin menjadi orang pertama yang menuntut martabat.

Samira menambahkan, kakaknya telah menciptakan sesuatu yang ingin dihancurkan orang-orang serakah. "Ia adalah pecinta kehidupan, yang pasti menolak cara-cara politisi bodoh atau para ekstremis yang mencintai maut. Saudaraku tewas demi martabat, bukan demi keuntungan atau ideologi.

Orang-orang mungkin akan atau sudah melupakan nama Faida Hamdy dan Mohammed Bouazizi. Meski berada pada dua sisi berbeda, mereka punya kesamaan.

"Mohammed Bouazizi dan aku sama-sama korban," kata Hamdy. "Ia kehilangan nyawanya dan hidupku tak akan lagi sama."

Perempuan berjilbab itu menambahkan, "Saat melihat kota dan negeriku, aku menyesalinya. Kematian terjadi di mana saja dan ekstrimisme justru berkembang dan membunuh jiwa-jiwa tak bersalah."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini