Sukses

Perjuangan Band Musik Rock-Indie Pengungsi Suriah

Menjadi pengungsi Suriah bukan berarti mengubur impian bermusik. Keinginan yang kuat mengantarkan band Khebed Dawle menuju ketenaran.

Liputan6.com, Berlin - Penyeberangan dari Mediterania menuju Eropa adalah suram dan menyakitkan bagi sebagian besar pengungsi Suriah. Namun menurut musisi Anas Maghrebi, itu pengalaman menyenangkan.

"Tak disangka saya akan mengatakannya, tapi itu benar."

Berada di tengah perang membuat semua penduduk mati-matian mencari cara untuk keluar dari Suriah dan mencari kehidupan lain yang lebih baik. Bertahan hidup sulit, sehingga mimpi menjadi musisi adalah "jalan buntu", menurut penuturan Magrebi kepada Guardian, Kamis (17/12/2015).

Setelah gelombang protes terhadap Presiden Bashar al-Assad tahun 2011, negara hancur dalam perang sipil. Saat itu drummer band-nya, Ranbir, terbunuh tahun 2012, seakan tak ada harapan untuk mimpi bermusik.

"Kawan kami adalah aktivis cinta damai; kami semua pernah berpartisipasi memprotes Assad, namun ia yang paling serius. Ia benar-benar membantu, bukan hanya sekadar berpartisipasi," ungkap Magrebi. "Saat itu merupakan masa-masa gelap bagi kami, mimpi kami sirna."

Pada tahun 2013 Magrebi meninggalkan Damascus dan menuju Lebanon, di mana ia bertemu musisi lain dan membentuk band Khenez Dawle. Namun sebagai pengungsi, mereka sulit mencari penghasilan untuk tinggal di sana.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Perjalanan ke Eropa

Agustus 2015, keempat anggota band--Maghrebi, Muhammad, Bazz, Hikmat Qassar dan Bashar Darwish--menyadari mereka perlu berusaha lebih keras lagi. Mereka menjual alat musik mereka untuk membayar para penyelundup masing-masing US$1200 dan mengatur perjalanan menyeberang Laut Mediterania dengan perahu kecil.

"Kami dianggap beruntung bisa pergi dengan perahu dengan hanya ber-16. Namun ini menyenangkan."

Ketika mereka mendarat di Lesbos, mereka menyodorkan album mereka pada para turis di pantai.

"Umumnya, mereka melihat perahu dengan wajah yang muram dan sedih. Namun mereka melihat wajah bahagia, kami yang tertawa-tawa dan bicara bahasa Inggris. Kami memperkenalkan diri sebagai band. Semua orang terkejut."

Seminggu setelah mendarat, sembari tinggal di pusat pengungsi Kroasia, Khebez Dawle diminta tampil di konser pro-pengungsi yang dibangun oleh aktivis.

Band mereka mendapat kesempatan tampil di sebuah klub di Zagreb, yang menampilkan band seperti Mogwai. Mereka menggunakan instrumen pinjaman, bermain di tempat yang dipenuhi penonton, dan semenjak itu, mendapat banyak undangan untuk tampil di konser dan festival di seluruh Eropa.

"Bagi kami, ini sulit dipercaya, rasanya kami masih mengenakan pakaian yang menempel di tubuh dalam perjalanan. Ini semua tidak direncanakan, itulah keindahannya."

Mereka berhasil dalam menghadirkan kisah berbeda dalam perjalanannya. Namun, perjuangan mereka tak berbeda jauh dari pada imigran lainnya, perlakuan tak menyenangkan di perbatasan negara dan rasa kehilangan identitas.

Maghrebi mengingat perjalanan jauh di malam hari dengan tubuh dilumuri lumpur demi sampai di Kroasia. Mereka tertangkap di perbatasan oleh polisi Kroasia dan ditahan lebih dari 24 jam.

"Kami berusaha ramah dengan para polisi, untuk menunjukkan bahwa kami bukan monster, bukan kriminal, hanya orang biasa," ujar Maghrebi.

Salah satu dari polisi juga penyuka musik dan drummer. Ia turut mendengarkan musik mereka.

"Ia mendengarkan salah satu lagu kami dari ponselnya. Ironisnya, lagu itu bicara mengenai kebebasan, penjara, dan tahanan. Anda bisa melihat matanya seakan-akan berkata, 'apa yang kalian lakukan disini?' Namun orang-orang tak ada yang tahu apa yang terjadi di Suriah. Mereka tak tahu kami tak punya tempat lain untuk pergi."

Situasi politik dan sosial di Suriah tergambar dari lagu-lagu Khebez Dawle. Nama band sendiri diterjemahkan menjadi "roti pemerintah", frasa Suriah yang artinya sikap bisa diandalkan dan hidup dengan baik. Namun, itu memiliki arti berbeda hari ini.

"Apa yang terjadi di Suriah membuat kami menyadari bahwa 'roti' sesungguhnya dari negara, atau basis yang sesungguhnya dari membangun negara bebas dan stabil, adalah orang-orang. Untuk Khebez Dawle, orang-orang adalah subjek musik," ungkap Maghrebi.

"Berada di perjalanan seperti ini membuat keyakinan Anda pada kemanusiaan semakin kuat. Orang-orang yang kami kenal selama di perjalanan adalah orang-orang yang hebat dan baik hati; Saya tak ingat passport mereka. Itu merupakan hal luar biasa yang Anda pelajari."

3 dari 3 halaman

Musik Khebez Dawle

Khebez Dawle mendeskripsikan aliran musiknya sebagai oriental indie rock--campuran musik tradisional Suriah dengan rock Barat, terinspirasi dari Pink Floyd dan Radiohead, dan dengan vokal Arabik. Album pertama dari band yang beranggotakan empat orang ini akan dirilis Agustus 2016, dan tersedia online.

Didanai oleh Arab Fund for Art And Culture dan Arab Culture Resource, album bercerita tentang pria Suriah muda yang menyaksikan 'Arab Spring' dan kebangkitan Suriah. Kendati berkisah pada kedua isu itu, namun lagu-lagunya jauh dari kesan politik.

"Pada titik itu, semuanya berantakan dan kacau, tak ada gunanya mencoba mengarahkan orang-orang pada sisi manapun," ungkap Maghrebi.

Album selanjutnya, yang sedang dikerjakan, menceritakan kisah berbeda. Kali ini bercerita tentang pertarungan pribadi para pengungsi: refleksi orang- orang muda Suriah ketika hidup jauh dari rumah, dan bagaimana dihadapkan dengan negara, tempat, dan orang-orang asing.

Melalui musiknya, Khebez Dawle ingin membagi cerita para migran yang dengan putus asa mencari suaka, dengan harapan menghilangkan pembatas antara Eropa dan Suriah.

Anggota band, kini di Berlin dan melamar sebagai pencari suaka, serta menggalang pendanaan masal untuk membeli peralatan musik. Mereka juga membuat rencana tur Eropa tahun depan. Kuartet itu berharap dapat jadwal tampil di London pada musim panas mendatang.

"Dengan band ini kami punya tanggung jawab untuk mengungkapkan isi pikiran, memberitahu Eropa mengenai pengungsi Suriah lainnya yang tak terdengar," ungkap Maghrebi.

"Untuk saya, ini lebih penting dibanding hanya main musik di klub dan berdansa. Lebih dari itu. Ini mengenai tanggung jawab menjadi saluran suara. Kami mendapat kesempatan bermain musik di depan budaya berbeda, warga negara berbeda, dan kami meyakinkan bahwa rintangan bahasa bukan lagi menjadi rintangan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini