Sukses

Perkenalkan Helen Pausacker, Dalang Wayang Cantik dari Australia

Bagi Helen, menjadi dalang adalah sebuah hobi yang serius, dan menjadi benih-benih cintanya terhadap seni yang pertama kali dilihatnya.

Liputan6.com, Melbourne - Lebih dari 40 tahun silam, si cantik Helen Pausacker jatuh cinta dengan salah satu kesenian tradisional Indonesia, wayang kulit. Ia bahkan menjadi satu-satunya perempuan Australia yang belajar secara profesional menjadi dalang.

Saat tampil di Australia, Helen mendalang menggunakan Bahasa Inggris.

Wayang kulit sudah ada di tanah Jawa sejak lebih dari 1000 tahun yang lalu. Terbuat dari kulit kerbau yang diawetkan dan diwarnai di kedua sisinya.

Seni pertunjukan ini tergolong bentuk teater yang paling rumit di dunia.

Cerita wayang diambil dari kisah epik Mahabharata dan Ramayana, yang berasal dari zaman Kerajaan Hindu Jawa di masa lalu, tapi tiap pertunjukannya biasanya didasarkan pada secuil bagian dari kisah tersebut.

Si cantik Helen Pausacker menjadi dalang wayang kulit di Indonesia pada tahun 1997. (Dokumentasi Helen Pausacker)

Karakter dalam ceritanya menentukan kepribadian dan suara masing-masing wayang. Termasuk sosok jenaka yang mengomentari peristiwa terkini, atau bergurau tentang pihak pendukung pertunjukan atau musisi yang kebetulan menemani tampil.

"Bisa saja membuat cerita yang benar-benar baru atau disebut 'carangan' atau 'cabang cerita', selama ia tak mempengaruhi peristiwa utama di Mahabharata dan Ramayana," ucap Helen seperti dikutip dari Australia Plus, Rabu (30/9/2015).

"Dengan kendala yang dimiliki cerita itu beserta strukturnya, ada ruang untuk interpretasi, mengingat tradisi bersifat oral, sehingga tak harus mengintepretasikan naskah tertulis," terang Helen.

Bagi Helen, menjadi dalang adalah sebuah hobi yang serius, dan menjadi benih-benih cintanya terhadap seni yang pertama kali dilihatnya dalam kunjungan ke Indonesia pada tahun 1974.

"Wayang adalah bentuk seni yang rumit, merupakan perpaduan harmonis antara cerita, drama, musik, dan seni (dalam dunia wayang)," tuturnya.

"Aku pertama kali melihatnya di Jakarta tahun 1974, saat kunjungan perdana ke Indonesia. Aku belajar tentang Indonesia di Universitas Melbourne, tapi wayang saat itu dimainkan dalam bahasa Jawa, yang sama sekali tak dimengerti olehku dan bahkan teman-temanku di Jakarta. Jadi kami tak tahu apa yang terjadi, tapi kami nonton semalaman dan sungguh-sungguh menikmati pengalamannya," jelasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

'Hijrah' ke Solo

Demi kecintaannya terhadap wayang, pada tahun 1976 Helen kembali ke Indonesia. Ia 'hijrah' menuju Solo untuk belajar selama setahun, lalu belajar secara intensif pada tahun 1981, 1995 dan 1997 hingga 1998.

Sebagian besar dalang berasal dari keluarga dalang, dan kelompok minoritas akan belajar melalui guru pribadi atau di sekolah khusus dalang, atau di salah satu institut seni negeri.

"Di antara orang Jawa, ada kegandrungan terhadap wayang, tapi tak semua orang Jawa menonton wayang. Wayang juga bisa dilihat melalui bentuk teknologi baru -- awalnya disiarkan melalui radio tiap bulan. Kini, juga ada siaran televisi dan beberapa bagian dari pertunjukannya juga diunggah di situs berbagi video. Beberapa dalang bahkan aktif di Facebook," tutur Helen.

Posisi Helen sebagai dalang sangatlah unik, mengingat ia adalah bukan seorang keturunan Jawa melainkan warga asing dari Australia yang dilatih untuk menjadi dalang. Menjadi dalang perempuan juga secara relatif tak lazim, karena kebanyakan berasal dari kaum pria.

Di Indonesia, ada sejumlah dalang perempuan ternama, salah satunya adalah almarhumah Nyi Suharni Sabdhowati.

"Ia dulu dalang perempuan yang populer, dan seorang guru buatku. Ada banyak dalang yang aku kagumi dan selama bertahun-tahun aku memiliki banyak guru yang sangat hebat. Aku sangat tertarik pada mereka yang fokus akan interpretasi karakter dan cerita," katanya.

Bagi Helen, menjadi dalang dari pertunjukan wayang semalam suntuk adalah kesenangan tersendiri dengan atmosfer yang unik, dan sangat berbeda dengan apa yang ada dan diadaptasi di Australia.

"Di Jawa, itu akan bergantung pada tempat pertunjukan. Di desa, pertunjukannya sangat hidup, orang-orang mengomentari. Di kota, penontonnya lebih menahan diri, tapi masih lebih ramai ketimbang di Australia," bebernya.

"Karena pertunjukan wayang di Jawa berlangsung selama 9 jam, para penonton akan ngobrol dan atau sambil makan dan hilir mudik. Mereka yang diundang mendapat makanan, dan yang tak diundang akan membeli makanan dari penjual kaki lima. Dan semakin malam, musiknya semakin keras dan cepat," kisahnya dengan semangat.

Si cantik Helen Pausacker menjadi dalang wayang kulit dengan Melbourne Community Gamelan. (Dokumentasi Helen Pausacker)

Di Australia, Helen tampil bersama Komunitas Gamelan Melbourne, yang telah terbentuk lebih dari 20 tahun yang lalu. Gamelan adalah salah satu instrumen tradisional yang menjadi rangkaian dari instrumen besar, dan musik inilah yang mengiringi pertunjukan wayang.

"Aku tak pernah menjadi dalang semalam suntuk, dan di Australia aku mendalang dalam bahasa Inggris. Di sini, kami juga menampilkan wayang dalam bentuk singkat (1 hingga 3 jam)," ujarnya.

"Aku tak menganggap diriku dalang sejati, karena tak pernah menampilkan pertunjukan wayang semalam suntuk. Di Jawa, aku membawakan 'mucuki', pertunjukan pendek yang biasanya dilakukan oleh dalang anak-anak, mungkin standarku masih pada tingkat anak-anak!" tutup Helen terkait kisahnya. (Tnt/Rie)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini