Sukses

Millennial: Generasi Narsis, Gila Gadget dan Manja?

Generasi millennial -kelahiran 1990 ke atas dianggap sebagai mereka yang mementingkan diri sendiri. Betulkah?

Liputan6.com, Jakarta Generasi millennial, atau mereka yang lahir pada tahun 1990 ke atas, dianggap memiliki banyak sisi buruk oleh generasi sebelumnya.

Hingga kini, majalah TIME dengan tajuk "Me Me Me Generation" - Generasi aku aku aku- tulisan Joel Stein, dengan cover seorang gadis sedang ber-selfie masih kerap menjadi bahan perbincangan dan diskusi. Baik di media sosial, jurnal kampus, ataupun secara terbuka. Majalah itu sendiri terbit pada tahun 2013 lalu.

TIME menyebutkan bahwa generasi milenial tumbuh ke arah yang lebih buruk. Mereka narsis, penggila gadget, egois, dan manja. Berbagai 'fakta negatif' mengenai generasi millennial pun diungkapkan oleh majalah ini, antara lain, perkembangan yang mereka yang terhambat.

"Semakin banyak orang usia 18 sampai 19 tahun yang masih tinggal dengan orangtua," tulis TIME. Fakta negatif lainnya adalah  gangguan narsisistik hampir 3 kali lipat ditemukan pada orang-orang usia 20'an dibanding generasi yang kini berusia 65 tahun ke atas.

"Mahasiswa mendapat nilai tingkat narsis lebih tinggi pada tahun 2009 dibanding tahun 1982," menurut artikel tersebut. 

Pertama-tama, apa itu benar? Dengan hanya mengungkapkan fakta, majalah dianggap seakan-akan menilai tanpa mempertimbangkan apa alasan yang yang mendasari fakta-fakta itu.

Kedua, apakah itu selamanya buruk? Apakah perkembangan teknologi hanya membawa perubahan lebih buruk? Apakah sifat narsis, mencintai diri sendiri, atau sifat-sifat serupa membawa efek negatif?

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Mitos dan Fakta Millennial

Generasi millennial 'manja'

Manja disini mengacu pada mereka yang masih tinggal bersama orangtua pada usia dimana mereka seharusnya sudah berkeluarga. Ini bukan tanpa alasan, menurut CNN.com, walau tingkat pengangguran pemuda AS menurun biaya hidup meningkat, sedangkan gaji karyawan rata-rata stagnan. Akibatnya, generasi millennial berjuang lebih keras dalam menghidupi diri sendiri, dan menjadikan menabung pilihan terakhir. Mau tidak mau, banyak dari mereka harus kembali tinggal dengan orangtua mereka.

Ada pula anggapan bahwa generasi millennial merupakan mereka yang tidak memahami arti dari kerja keras. Walau sesungguhnya, ini terjadi karena peran orangtua dan wali dari generasi sebelumnya, mengantarkan mereka memilih untuk kerja 'cerdas' dibanding kerja 'keras'.

Todd Cherches dari The Hired Guns mengungkapkan bahwa secara rata-rata, anak-anak milenial memiliki toleransi lebih rendah terhadap birokrasi dan proses yang lama. Mereka menolak melakukan pekerjaan monoton. Mereka fokus pada apa yang harus diselesaikan dengan mencari cara sendiri. Dengan teknologi yang lebih maju, sering kali mereka memiliki siasat sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan. Artinya, mereka bukan berarti tidak mau bekerja, namun cara kerja mereka berbeda.

Generasi milenial 'gila gadget'

Ini mungkin yang paling sering Anda dengar. Dalam lingkungan pertemanan atau keluarga, Anda juga mungkin kerap mendengar guyonan atau cercaan mengenai 'anak-anak muda' yang tidak bisa lepas dari telepon pintar. Walaupun, kasus 'gila smartphone' sesungguhnya tidak setinggi yang diperkirakan.

Melalui riset yang dikonduksi oleh International Republican Institute (IRI) membuktikan bahwa 48 persen responden mengaku nyaman jika harus melalui hari tanpa smartphone. Sementara, 45 persen mengaku mudah beradaptasi dengan teknologi baru, dan 29 persen lainnya menggunakan aplikasi telepon genggam untuk pembayaran.

Satu yang perlu dipertimbangkan, adalah fungsi telepon genggam yang bisa mencakup semua. Saat teknologi masih belum se-maju saat ini, orang-orang harus membawa kamera, buku catatan, alat komunikasi, dan berbagai dokumen lainnya secara terpisah. Di era dimana semua itu bisa digabungkan ke dalam satu alat, sepertinya tidak terlalu mengherankan jika kita melihat seseorang terpaku pada satu alat dalam melakukan semua pekerjaan.

Betapa 'narsis' anak-anak generasi millennial!

Mementingkan diri sendiri, serakah, mau menang sendiri, dan ingin diperhatikan, itulah anggapan mengenai generasi millenial yang kemudian dirangkum dalam satu definisi: narsis.

Menurut survey dari IRI, 90 persen responden mendefinisikan kesuksesan dengan menjadi seorang teman yang baik, yakni menjalin hubungan positif dalam pekerjaan maupun pribadi. Sedangkan 68 persen mengaitkan kesuksesan dengan bekerja. Dibandingkan dengan 56 persen bagi generasi X (kelahiran 70-an dan 80-an) dan generasi baby boomers (kelahiran 60-an), ini sepertinya bukanlah hal buruk.

Generasi millennial juga seringkali dianggap selalu ingin diperhatikan dan dihargai. Menurut Cherches, ini berakar dari kebiasaan yang diterapkan oleh generasi sebelumnya. Pada acuan 'Freedom to Learn', ahli psikolog terkenal Carl Rogers menyarankan agar perusahaan bisa meningkatkan kepercayaan diri karyawan mereka. Murid-murid sekolah pun didukung agar lebih spontan dan bebas. Penilaian moral 'baik dan buruk' pun diterapkan, dan orang-orang dituntut agar lebih kritis.

Dampaknya, banyak perusahaan yang membanggakan karyawan mereka demi mempertahankan reputasi dan pekerja. Salah satu keyword yang paling dicari di beberapa tahun belakangan adalah 'employee engagement' -keterlibatan karyawan.

Ini bukanlah hal buruk. Ketika generasi X dan baby boomers hanya duduk di meja menunggu promosi dari bos, generasi millennial mau melakukan usaha agar kerja mereka dihargai. Ini yang dinilai sebagai bentuk narsisme, walau sesungguhnya merupakan bentuk usaha pengembangan diri.

Media sosial bisa jadi berkontribusi pada `kenarsisan`anak millennial. Walau mungkin ini bukan selamanya hal buruk. Melalui media seperti Instagram, orang-orang memiliki kesempatan menjadi pusat perhatian, baik dari pencapaian, penampilan, ataupun sensasi. Ini seringkali memicu rasa tidak mau kalah, sehingga anak-anak generasi millennial berlomba-lomba memamerkan semua sisi baik kehidupan mereka.

3 dari 3 halaman

Apa Kelebihan Generasi Milenial dalam Pemberdayaan Pekerja?

Satu hal yang membedakan generasi milenial dengan generasi sebelumnya-- mereka mementingkan kreatifitas.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Bentley University mengkonduksi mengenai aspirasi karir millennial. Hanya 13 persen mengaku mimpi mereka dalam karir adalah menjadi bos perusahaan tempat mereka bekerja. Sedangkan, 67 persen menjawab target mereka adalah untuk memulai bisnis sendiri.

"Millennial mencari kericuhan, dan memiliki kewaspadaan terhadap resiko dipecat dan kehidupan monoton terpaku dalam kubikel kantor. Mereka berpikir 'ada jalan keluar'." ungkap Fred Tuffile, direktur program studi wirausaha, dikutip Forbes.

Hal ini membuat mereka merasa bisnis menjadi pilihan. Menurut Bentley, kecenderungan anak-anak milenial yang tidak takut dengan resiko dan suka kekacauan buat mereka menganggap, kegagalan dalam berbisnis lebih baik dibanding duduk di kubikal kantor selama 20 tahun. Memulai perjalanan untuk mengembangkan ide sendiri akan memberi mereka pelajaran hidup.

Sedangkan menurut CEO Karir.com Dino Martin, mempekerjakan anak-anak millennial dengan pemikiran yang mengandalkan kreatifitas bisa menjadi pemberdayaan untuk sebuah perusahaan berkembang. Mereka dianggap bisa menawarkan ide-ide segar dan inovasi.

"Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang selalu berinovasi. Milenial menawarkan itu," ungkap Dino Martin saat ditemui tim Redaksi Liputan6.com dalam sebuah acara.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.