Sukses

Hillary Clinton: China Banyak Curi Rahasia Dagang AS

Tudingan yang dilancarkan Hillary Clinton itu jauh lebih keras dari bahasa yang digunakan pejabat pemerintahan Obama.

Liputan6.com, New Hampshire - Bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, menuding China mencuri banyak informasi rahasia dagang dan sejumlah informasi pemerintah, serta berupaya meretas apa pun yang tidak bergerak di Amerika.

Tudingan yang dilancarkan Hillary Clinton itu jauh lebih keras dari bahasa yang digunakan sebelum ini oleh para pejabat pemerintahan Presiden Barack Obama.

Ketika berkampanye di Hanover, New Hampshire, Menteri Luar Negeri AS periode 2009-2013 ini menyatakan ingin melihat Tiongkok bangkit dengan damai.

"Tapi kita juga harus waspada penuh, kekuatan militer China tumbuh sangat cepat. Mereka membangun instalasi militer yang kembali membuat negara-negara lain yang menjadi sekutu kita merasa terancam, seperti Filipina, karena mereka membangun di tempat yang masih bersengketa," ucap Hillary seperti dilansir Reuters, Minggu (5/7/2015).

"Mereka juga mencoba meretas semua yang tidak bergerak di Amerika. Mencuri rahasia dagang...dari kontraktor sektor pertahanan, mencuri banyak informasi negara, dan mencari celah keuntungan," sambung istri mantan Presiden AS, Bill Clinton.

Sejauh ini Gedung Putih menolak berkomentar menyoal tuduhan yang dilontarkan kandidat kuat dalam nominasi Demokrat untuk pemilihan presiden pada November 2016 mendatang tersebut.

Sebelumnya, dugaan peretasan oleh Tiongkok pernah dikemukakan pejabat pemerintahan Obama. Disebutkan, China adalah pihak yang diduga keras melakukan peretasan ke lembaga pemerintah AS yang mempunyai data sekitar 4,2 juta pekerja dan pensiunan pegawai pemerintah.

Namun pemerintah Beijing sudah membantah tuduhan telah meretas komputer Kantor Manajemen Pegawai AS.

Sementara Hillary dalam kampanyenya tak hanya menyerang Tiongkok. Ia turut menyinggung program nuklir Iran. Bahkan, menggunakan kalimat keras untuk Teheran.

Hillary Clinton mengatakan, "Sekalipun perjanjian dengan Iran tercapai, Teheran tidak akan meredakan agresifitasnya dan tetap menjadi negara pendukung utama aksi terorisme." (Ans/Yus)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.