Sukses

Dampak Bullying dalam Jangka Panjang

Jika temuan Duke ini menjadi bukti bahwa menjadi penyesah bisa saja bermanfaat, janganlah hal ini dipahami sebagai justifikasi bullying.

Liputan6.com, Durham (North Carolina) Tindak kekerasan yang dilakukan anak-anak, kaum remaja dan kaum dewasa makin marak. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa tindak kekerasan ini, termasuk penyesahan (bullying) memiliki dampak jangka panjang dalam kehidupan seseorang, walaupun ternyata ada juga penelitian yang mendapati manfaat baik dari penyesahan sebagaimana dilansir dari Science Daily 12 Mei 2014.

Dampak penyesahan (bullying) di masa kanak-kanak dapat berbekas seumur hidup, baik untuk anak yang disesah maupun pelakunya.

Namun menurut penelitian Duke University yang diterbitkan pada tanggal 12 Mei 2014 dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, walaupun kaum dewasa muda menunjukkan dampak jangka panjang karena pernah disesah, mereka yang melakukan penyesahan justru bisa lebih sehat daripada orang sebayanya dalam satu hal tertentu.

Laporan ini didasarkan pada a temuan dari penelitian jangka panjang Great Smoky Mountains Study, yang dimulai di tahun 1993 dan diikuti oleh 1.420 anak dari kawasan barat negara bagian North Carolina. Para peneliti mewawancarai peserta hingga sembilan kali kesempatan, pertama ketika mereka masih anak-anak dan remaja (usia 9 hingga 16 tahun) dan lagi ketika mereka telah menjadi kaum dewasa muda (usia 19 hingga 21 tahun). Penelitian ini dipimpin oleh William Copeland, seorang professor muda psikiatri dan ilmu perilaku di Duke University Medical Center di Durham, North Carolina.

Perbaikan laporan terdahulu

Laporan-laporan terdahulu, termasuk sebagian dari Great Smoky Mountains Study, menunjukkan bahwa kaum dewasa muda yang disesah semasa masih anak-anak dapat menderita persoalan kesehatan mental jangka panjang semisal penyimpangan kecemasan, panik, dan depresi.

Namun ini adalah pertama kalinya ada petunjuk bahwa penyesahan sesungguhnya bisa bersifat melindungi. Alasan ini belum bisa dijelaskan sebelumnya, menurut Copeland, karena penelitian sebelumnya mencampur aduk dua jenis penyesahan: pelaku yang juga pernah mengalami penyesahan (disebut dengan penyesah-korban/bully-victims) dan mereka yang “penyesah sejati” atau “pure bullies.”

Para penyesah-korban “menderita persoalan-persoalan emosi dan gangguan kesehatan jangka panjang paling buruk,” kata Copeland dan para penulis lain bersamanya. Dengan memilah mereka dalam melakukan analisa penelitian ini, tulis mereka, menjadi jelaslah bahwa penyesah “sejati” mendapatkan manfaat dari tindakan menyesah orang lain tanpa kerugian diri dan bisa jadi lebih sehat daripada sebayanya, baik secara rohani maupun jasmani.”

Peran protein

Penelitian kali ini mengukur tingkat protein C-reactive (CRP) dalam darah—suatu penanda biologis terkait dengan pembengkakan menahun yang berkaitan dengan risiko serangan jantung dan gejala metabolis. Pengukuran dilakukan di beberapa tahap kehidupan: sewaktu anak-anak, remaja, dan dewasa muda. CRP adalah pertanda adanya stres dalam tubuh, kata Copeland, dan “pembawa bermacam-macam persoalan kesehatan di masa depan.”

Kandungan CRP meningkat pada semua peserta seiring dengan bertambahnya usia, demikian temuan para ilmuwan. Tapi mereka yang telah disesah memiliki peningkatan yang terbanyak, dan mantan penyesah memiliki peningkatan CRP paling sedikit. Mereka yang menjadi penyesah-korban berada di tengah-tengah, di tingkatan yang sama dengan para peserta lain yang sama sekali tidak pernah terlibat dengan penyesahan di masa anak-anak.

Peningkatan status sosial, atau keberhasilan yang datang karena telah menjadi penyesah,” kata Copeland. Pola ini muncul bahkan setelah dikaitkan dengan indeks massa tubuh (BMI—body mass index), penggunaan zat kimia, status kesehatan, dan paparan kepada jenis-jenis trauma lainnya.

Hati-hati menafsirkan kesimpulan penelitian

Tapi Catherine Bradshaw, wakil direktur di Pusat Pencegahan Kekerasan Remaja (Center for the Prevention of Youth Violence) di Johns Hopkins di Baltimore di negara bagian Maryland, memperingatkan agar jangan berlebihan dalam menafsirkan lebih rendahnya tingkat kandungan CRP dalam diri para penyesah.

Alih-alih menjadi manfaat kesehatan, tingkat CRP yang lebih rendah bisa jadi merupakan cerminan perbedaan biologis penyesah-penyesahnya, serupa dengan perbedaan biologis yang sebelumnya pernah terlihat pada anak-anak dan orang dewasa dengan pola perilaku agresif.

Bahkan jika temuan Duke ini menjadi bukti bahwa menjadi penyesah bisa saja baik bagi seseorang, setidaknya dalam dimensi ini, janganlah hal ini dipahami sebagai justifikasi untuk menyesah, katanya.

Ada “penelitian tercatat secara lengkap, baik untuk jangka pendek dan panjang, yang menunjukkan bahwa anak-anak yang terlibat dalam penyesahan memiliki akibat-akibat bermasalah lainnya,” kata Brenshaw. Misalnya, anak-anak yang menyesah lebih cenderung menjadi anggota geng, memiliki senjata, dan persoalan lain.

Copeland menambahkan bahwa peningkatan status sosial para penyesah—yang diyakininya sebagai kemungkinan penyebab lebih rendahnya tingkat CRP—dapat dan harus diperoleh dengan cara-cara yang lebih dapat diterima secara moral.

Science Daily mendapatkan sumber utama tulisan ini dari Duke Medicine. Penelitian ini mendapat dukungan dari National Institute of Mental Health (MH63970, MH63671, MH48085 and MH080230), National Institute on Drug Abuse (DA/MH11301, DA023026), Brain & Behavior Research Foundation,  William T. Grant Foundation dan Economic and Social Research Council (ES/K003593/1).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini