Sukses

Satinah Bebas dari Pancung, Keluarga Majikan Minta Waktu 2 Bulan

Meski sudah ada kesepakatan pembayaran diyat atau uang darah, namun keluarga korban atau majikan meminta waktu 2 bulan.

Liputan6.com, Jakarta - Proses meringankan hukuman bagi TKI yang divonis hukuman mati di Arab Saudi, Satinah belum juga tuntas. Meski sudah ada kesepakatan diyat atau uang darah sebesar SAR 7 juta atau sekitar Rp 21 miliar, namun keluarga korban yang juga majikan Satinah, masih berunding.

"Ternyata ada perbedaan pandangan, ada masalah internal yang belum diselesaikan. Mereka terima angka itu, tapi belum berikan data-data jaminan. 1-2 bulan ini sudah ada penyelesaian sebaik-baiknya," ungkap Ketua Tim Khusus Peringanan Kasus Satinah Maftuh Basyuni, dalam konferensi pers di Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Selasa (15/4/2014).

Mantan Menteri Agama Kabinet Indonesia Bersatu itu menjelaskan, pihak keluarga meminta waktu sekitar 1 hingga 2 bulan untuk berunding. Namun, hal itu tak mempengaruhi kasus Satinah, eksekusi tak akan dilakukan karena pihak keluarga telah menyetujui.

"Dia sepakat, tapi belum siap untuk selesaikan internal. Eksekusi tidak akan dilakukan," tegas Maftuh.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan, masalah internal keluarga korban adalah terkait pembagian dana diyat SAR 7 juta itu. Sebab, ada 7 kepala keluarga yang berunding soal pembagian uang darah itu, sehingga membutuhkan waktu sekitar 2 bulan.

"Masih di tangan keluarga. Mereka setujui. Cuma bagaimana secara internal menyelesaikan pembagian di antara mereka. Mudah-mudahan dalam waktu 1-2 bulan ke depan kita dapat kabar yang baik," tegas Djoko.

Pembayaran diyat ini sempat alot dengan pihak keluarga. Pemerintah Indonesia berusaha melobi diyat agar pembayaranya lebih murah. Namun, keluarga korban tetap meminta SAR 7 juta atau sekitar Rp 21 miliar.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengakui pemerintah gagal dalam negosiasi diyat yang lebih murah. Tim negosiasi yang tak pandai berbahasa Arab, disebut-sebut sebagai penyebab kegagalan dalam negoisasi tersebut.

"Soal kenaikan diyat Satinah itu karena diplomasi kita lemah. Masa tim negosiasi pakai penerjemah, baru tahu saya. Harusnya rekrut yang bisa Bahasa Arab," kata Muhaimin usai melakukan pencolosan Pemilu Legislatif di TPS Widya Chandra, Rabu 9 April lalu.

Dibandingkan dengan kasus Darsem yang juga sempat terancam hukuman mati, diyat Satinah tergolong sangat mahal. Saat kasus Darsem yang kala itu dijatuhi hukuman pancung karena membunuh majikannya, keluarga korban hanya minta diyat sebesar Rp 4,7 miliar yang dipenuhi Pemerintah RI.

Sedangkan kasus Satinah, pemerintah harus membayar mahal sebelum akhirnya negosiasi disepakati di angka Rp 21 miliar. Sebelum negosiasi, ahli waris korban meminta diyat senilai SAR 15 juta atau sekitar Rp 45 miliar. Namun negosiasi yang dilakukan pemerintah Indonesia sejak 2011 berhasil menurunkan diyat menjadi SAR 7 juta atau sekitar Rp 21 miliar. Dengan demikin, diyat Satinah 4 kali lebih mahal ketimbang diyat Darsem.

Sementara Ketua Komnas HAM Hafid Abbas menilai, penebusan nyawa Satinah yang dituduh mencuri dan membunuh keluarga majikan itu dinilai masih kurang bijak. Solusi ini dinilai menjadi preseden bagi kasus TKI lainnya.

"Kompensasi seperti itu bukanlah solusi mendasar yang harus ditempuh yang bahkan dinilai akan rawan memunculkan modus pemerasan oleh negara lain kepada warga negara kita yang lemah yang tak memiliki posisi tawar di negara lain," kata Ketua Komnas HAM Hafid Abbas dalam keterangan tertulisnya, Jumat 4 April.

Menurut Hafid, langkah terbaik yang dapat diambil untuk menghindari modus pemerasan ini adalah melakukan upaya-upaya preventif dengan menertibkan dan membenahi proses keberangkatan TKI ke luar negeri. Tak hanya dengan pembekalan keterampilan fungsional yang dibutuhkan negara tujuan, tapi juga pembekalan pemahaman sistem hukum yang dianut di sana.

Menurut catatan Komnas HAM, saat ini masih ada 6 juta TKI yang bekerja di berbagai negara. Lebih dari 200 kasus yang menimpa TKI di Arab Saudi dan Malaysia yang menunggu untuk dibebaskan dari putusan hukuman mati. (Elin Yunita Kristanti)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini