Sukses

Anggota Jemaah Indonesia yang Tewas Menjadi Dua

Satimin bin Ngayorejo asal Lampung dan Rospita Ali Munsir tewas dalam kejadian maut di Mina, Arab Saudi. Identitas korban terungkap setelah petugas haji Depag RI mengecek ke beberapa rumah sakit setempat.

Liputan6.com, Mina: Dua anggota jemaah Indonesia dipastikan tewas dalam insiden di kawasan pelontaran jumrah di jembatan Jamarat, Mina, Arab Saudi. Korban adalah Satimin bin Ngayorejo (67 tahun) asal Tanggamus, Lampung. Satimin tergabung dalam kelompok terbang (kloter) 40 Jakarta-Bekasi. Seorang lagi, bernama Rospita Ali Munsir, istri dari Rizal. Rizal adalah staf Konsulat Jenderal Brunei Darussalam di Jeddah [baca: Seorang Haji Indonesia Tewas dalam Insiden Mina].

Kepastian meninggalnya Satimin dan Rospita diperoleh setelah Satuan Operasi Panitia Penyelenggara Ibadah Haji Depag RI mengecek ke Rumah Sakit Attawari Mu`aisin, Mina, Jumat (13/1). Dua anggota jemaah Indonesia lain yang cedera, masing-masing M. Entoy (08032554) dan Nyonya Dalkah (08032408) dirawat di Rumah Sakit Al-Wadi, Mina. Informasi terbaru bisa diperoleh dari media center haji dengan mengontak nomor telepon 077-966-508061937 atau mengunjungi situs www.informasihaji.com.

Angka pasti seluruh korban tewas memang belum jelas benar. Depag menyebutkan, tamu Allah yang meninggal dunia mencapai 385 orang. Sementara pemerintah Arab Saudi melansir, 345 korban tewas dan 289 cedera [baca: Ratusan Calon Haji Tewas Saat Jumrah].

Simpang siurnya data dan identitas korban membuat pejabat dari kedutaan besar dan konsulat dari berbagai negara datang ke RS Al-Wadi dan RS Attawari Mu`aisin. Mereka mencari sendiri anggota jemaahnya yang menjadi korban dalam tragedi itu.

Penyebab peristiwa di jembatan Jamarat, menurut Arab Saudi, akibat calon haji kurang tertib. Pada hari ketiga pelaksanaan jumrah sebanyak satu juta orang berusaha menyelesaikan salah satu wajib haji itu, kemarin. Mereka tidak mau saling mengalah. Pada kesempatan yang sama, barang-barang dari atas bus yang beriringan melintas terjatuh. Tumpukan barang menghambat arus jemaah sehingga mengakibatkan banyak calon haji terinjak-injak.

Berbeda dengan prosesi wukuf yang menempati Padang Arafah seluas 12 kilometer persegi, prosesi melontar jumrah merupakan saat-saat yang paling kritis dalam ibadah haji. Lebih dari dua juta anggota jemaah harus mendatangi jamarot atau lokasi melontar jumrah ula, wustho dan aqobah pada tanggal 11 dan 12 Zulhijjah. Di tiga lokasi yang relatif sempit itu mereka harus berdesakan melontar batu kerikil masing-masing sebanyak tujuh kali. Wajarlah jika hampir setiap tahun selalu terjadi insiden yang merenggut nyawa jemaah haji.

Pada 1 Februari 2004 silam, misalnya. Sebanyak 251 anggota jemaah meninggal akibat berdesak-desakan. Setahun sebelumnya, 14 orang meninggal juga karena berdesak-desakan ketika melontar jumrah. Kemudian, pada 5 Maret 2001, 35 anggota jemaah meninggal juga dalam insiden berdesakan [baca: Ratusan Jemaah Haji Tewas di Mina] .

Selanjutnya, pada 9 April 1998, insiden serupa merenggut 118 nyawa. Lalu pada 5 April setahun sebelumnya, 343 calon haji meninggal dan 1.500 lainnya terluka karena kehabisan nafas akibat terjebak dalam kebakaran di tenda Mina. Kemudian, pada 24 Mei 1994, 270 anggota jemaah juga meninggal akibat insiden saling dorong dan terinjak-injak saat hendak melontar jumrah.

Namun, tragedi terbesar terjadi 2 Juli 1990 ketika 1.426 orang meninggal--sebagian besar asal Indonesia akibat berdesakan dan terperangkap dalam terowongan Al-Muasim, Mina.

Kini, pemerintah Arab Saudi telah memperlebar target lontaran dan membagi waktu melontar untuk masing-masing negara. Ini agar tidak terjadi tabrakan jemaah dalam waktu bersamaan. Namun tetap saja tragedi akibat berdesak-desakan itu masih juga terjadi.(KEN/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.